Skip to main content

Situbondo, with love

Sungguh tak diduga karena bos begitu mempercayai Nie untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Beberapa minggu lalu, beliau menghampiri Nie dan berkata “Nie, Situbondomu banjir tuh! Ngga kamu kunjungi ta?

Weleh, sejak kapan Nie punya kota Situbondo?

Aniwe, busway, bos menyuruh Nie pergi ke Situbondo bersama sebuah yayasan yang sudah cukup akrab dengan perusahaan tempat Nie bekerja. Jujur, kali ini Nie agak malas berangkat. First, karena Nie seorang diri. Second, karena kondisi Nie sedang tidak fit! Yet, the show must go on! Nie berangkat!

Tanggal 19 Februari jam 5 pagi, Nie sudah berkumpul di markas. Semuanya berwajah cerah, walaupun hari masih gelap. Setelah makan pagi di markas, kami langsung bergegas pergi. Sekitar pukul 6 kami meninggalkan kota Surabaya. Setelah beberapa kali berhenti (pipis break) dan breakfast break, akhirnya kami sampai juga di Kabupaten Situbondo, tepat pukul 11.30.

Setiba kami di sana, kami langsung menuju ke sebuah gedung sekolah yang digabung dengan gedung pertemuan, gereja, dan rumah dinas. Di sana kami membantu para ibu untuk membungkus nasi bungkus. Wih, baru kali ini Nie ikut serta dalam pembungkusan nasi bungkus massal! Kesannya, puanas!!! Abisnya semua lauk pauk masih panas, dan harus dibungkus, ditambah dengan hawa yang panas, jadi puanaasss.

Sekilas info, Nie sebenernya agak males berangkat tuh karena Nie takut kalo semua relawan yang ikut adalah ibu-ibu atau oma-oma. Eh, ternyata, ketemu banyak teman-teman yang seumuran. Sama-sama gilanya pula!

Back to the topic, setelah membungkus-bungkus, kami segera bergegas ke lokasi pertama. Awalnya Nie berpikir kami akan memberi bantuan ke sebuah sekolah, eh ternyata salah! Sekolah ini untuk sementara waktu tidak dipakai, akibat bencana banjir. Memang keadaan sekolah ini cukup mengenaskan. Meja-meja dan kursi-kursi berserakan di halaman sekolah. Ratusan buku-buku dan atribut sekolah harus dijemur di tengah lapangan. Ya, di lokasi inilah kami mengadakan baksos pengobatan!

Selain di lokasi ini, kami juga ke dua lokasi lainnya. Berbeda dengan lokasi pertama, lokasi kedua dan ketiga ini letaknya jauuuuh dari kota. Jadi sangat mblusuk! Masyarakatnya pun juga kurang fasih berbahasa Indonesia. Tau mereka bicara bahasa apa? MADURA!!! Aujubileeee,… jawa krama aja Nie ngga ngerti, ini lagi, pake bahasa Madura. Buset!!!

Selama bakti sosial ini, Nie lebih banyak membantu di bagian administratif. Jadi, Nie mencatat-catat, trus kadang membantu angkat-angkat, atau ya apalah yang bisa dibantu. Tapi beneran, cuapeeeeek, karena kami melayani hampir 1000 warga. Dan, wah, capeknya itu bener-bener bikin kita pengen tidur dan ngga bangun lagi selama 1 minggu.


It was the most memorable activity, deh! Karena bakti sosial yang sebelum-sebelumnya tuh cuma ‘setor muka’ doang! Foto-foto, ikut-ikutan, dan pulang! Kali ini bener-bener kerja! Dan lokasi yang didatangi emang layak bantu. Bukan hanya membantu di daerah-daerah yang masyarakatnya pura-pura miskin.



Tepat sebelum maghrib kami berkemas kembali ke tempat kami membungkus-bungkus nasi. Di sinilah tempat semua barang bantuan dikumpulkan. Orang-orang yang bekerja di gedung ini, baik guru, pendeta, suster, ataupun staf relawan dan jemaat gereja, semuanya rajin mengadakan bakti sosial.

Lewat pukul 7 malam, kami meninggalkan kabupaten Situbondo. Berbeda dengan waktu berangkat, kali ini Nie ikut rombongan lain. Dan, only God knew how annoyed I was that time! Nie ngga bisa tidur karena orang yang nyetir dan teman yang duduk di sebelahnya just couldn’t stop talking! Serius!! Selama hampir 3 jam perjalanan, Nie mendengar semuaaa percakapan mereka! Dan they talked LOUD! Be-te!

Dan lebih parahnya lagi, Selasa malam itu, kami tidak bisa pulang ke Surabaya, karena warga Porong lagi asyik-asyiknya demo di tengah jalan. So, jalan menuju ke Surabaya ditutup rapet, peeeet!

*Kucrut!*

Akhirnya kami menginap di sebuah villa milik salah satu tante yang tergabung dalam yayasan sosial tersebut.

Alhasil, Nie jadi sakit! Bukan salah si Tante yang punya villa, bukan salah 2 bapak yang ngobrol keras-keras, dan bukan salah bos yang menyuruh Nie ikutan trip to Situbondo. Ya, namanya juga lagi ngga fit!

Dan akhirnya, Nie dapet banyak "oleh-oleh" dari perjalanan ini: batuk, pilek, dan demam. Tapi, yang lebih penting, Nie dapet banyak hikmah dan berkat juga.
"Tante, kapan kita baksos lagi?"

Comments

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

The unexpected wedding

Almost every girl has ever dreamt of her wedding day – what she would wear, who would come, who the prince charming is. I would say, every girl must have a certain expectation and standard when it comes to a wedding: it could be grand, small celebration, family only, destination wedding – you name it. My dream wedding happens to me a small, close friends and family only wedding. If you grew up in the 90s, you would know a boy band called 98 degree. They had a song titled ‘I do’. If you search on YouTube, you will find the video clip, which shows a beautiful wedding ceremony. That’s my dream wedding! My whole life, I was picturing that. Twelve years ago, I started dating this guy, who is now my husband. His family background is very different than mine. Among other things – which we thankfully have tolerated and worked on – the way to throw a wedding party is totally different. His dream wedding party is ‘tell the world I am getting married’-kind of party. Yes, he wanted grand

Cold Feet

One of my closest friends is getting married tomorrow another one in May another one in November. and an ex-classmate is also getting married in April/May. and, I dreamed about getting married last night. I remember some months ago I was so enthusiastic with the idea of getting married. Although I knew that our relationship was not yet ready for that stage, I was so pushy to Stefy. I had asked him when exactly we would get married. Ah well, it was all the flashy things that I longed for. Right now, what I want is to avoid it! I am just not brave enough to throw myself into this new status. Don't get me wrong, I am probably just like any other girls out there who like the beautiful wedding gown, like to be made up, like to be the queen of the night. But, have you ever considered what would happen after you wave off the guests and head to your own home, starting your new chapter of life? or what would happen after the happy chappy honeymoon? Would we then live