Skip to main content

Gadget: Friend or Enemy?

Sebelum ke tema yang lebih 'enteng' lainnya, marilah kita memasuki tema yang sedikit lebih berbobot dan sering diperdebatkan semua emak-emak di seantero dunia. Bukan hanya di Indonesia saja, tapi sedunia pasti punya pandangan berbeda-beda tentang hal ini: GADGET! 

Gadget di Indonesia sering dikonotasikan dengan smartphone dan tablet. Buat orang tua, gadget sering dilihat sebagai teman baik atau musuh terbesar anak. Alhasil, orang tua kadang mengambil langkah yang ekstrim: melarang atau menyerah pada keinginan anak untuk main gadget.

Saya memiliki beberapa teman atau kenalan dari dua 'kubu' ini. Ada orang tua yang sama sekali tidak mengijinkan anaknya bermain atau memiliki gadget. Mereka takut akan efek negatif dari gadget: kecanduan, merusak mata, keterlambatan fungsi motorik dan masih banyak lagi. Pernah saya baca artikel yang mengatakan bahwa gadget itu seperti drugs untuk anak-anak. Ngeri ya!

Ada juga teman-teman saya yang sangat terbuka dengan adanya gadget, bahkan terlalu terbuka. Masing-masing anak di keluarga tersebut memiliki gadget pribadi. Kadang ada gadget yang untuk dibawa-bawa dan ada yang untuk digunakan di rumah saja. Anak-anak ini cenderung lebih 'anteng' dibandingkan anak-anak lain. Tidak berisik. Tidak lari-lari. Tidak buat onar. Orang tua nya pun bebas melakukan banyak hal, shopping, makan dengan tenang di restaurant atau nongkrong dengan teman. 

Mana yang benar? Tidak ada jawaban benar atau salah untuk perdebatan ini. Para ahli pun tidak punya jawaban yang sama; semuanya memiliki pendapat dan cara yang berbeda-beda. Coba saja lakukan penelitian sendiri melalui Google. Artikel yang Anda temui tentang gadget memiliki isi, pandangan dan solusi yang berbeda-beda.

Saya awalnya sangat strict! No gadget! Entah umur berapa Axl baru mengenal gadget. Mungkin menjelang usia 1 tahun. Suami yang 'memperkenalkan'. Dalam hati, saya sebenarnya kurang setuju, tetapi setelah tahu manfaat gadget, terutama bagi kami sebagai orang tua, akhirnya saya 'menyerah'. 

Kalau boleh jujur, gadget itu lebih bermanfaat bagi orang tua daripada untuk anak, terutama saat anak masih berusia sangat kecil. Gadget membuat para orang tua memiliki waktu untuk buang air, duduk sambil menghela nafas, atau sekedar makan dan minum barang 5-10 menit di restoran. Apalagi saat ART atau pengasuh pulang kampung seperti barusan ini! Anda bisa mandi, bisa beres-beres rumah dan memakai sedikit cream pagi, sunblock dan lipstik (supaya penampilan sedikit terawat, ngga dikira suster atau mbak-nya Axl!) 😁

Tapi penggunaan gadget berusaha kami batasi. Menurut 'rumus' yang kami temukan di internet, waktu yang diperbolehkan untuk anak seusia Axl menggunakan gadget (termasuk nonton TV dan laptop) adalah 30 menit - 1 jam. Dan inilah patokan yang kami berusaha gunakan. Jadi kalau pagi/siang Axl sudah asyik nonton TV, maka hari itu dia puasa main HP mama/papa.

Hal kedua yang kami terapkan adalah HP/gadget adalah miliki Mama atau Papa. Axl PINJAM HP atau gadget Mama atau Papa. 'Status' ini perlu dijelaskan, supaya anak tidak merasa berhak main atau menggunakan gadget seenaknya. Dia juga harus sharing dengan orang lain.

Hal ketiga yang kami terapkan dalam penggunaan gadget adalah jika ada orang yang mengajak bicara, gadget harus diletakkan atau dimatikan. Orang > Gadget. Berkomunikasi dengan orang lain lebih penting daripada bermain gadget.

Terakhir, kami sebagai orang tua berusaha untuk tidak memegang gadget saat bermain dengan anak. Tidak selalu berhasil, karena well, duty calls. Tapi sekarang Axl bisa protes. Kalau lagi main bareng dan ada yang main HP, dia akan minta HPnya dimatikan. Kadang malah HPnya diambil paksa oleh Axl dan disembunyikan!

Well, here is my two cents on gadget usage. Bisa benar, bisa salah. Tips di atas bisa cocok, bisa tidak untuk diterapkan bagi anak Anda. Yang pasti, ingatlah bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu mungkin kurang baik adanya.


p.s. walaunpun #nulisrandom2017 sudah berakhir dan lagi-lagi saya GAGAL, tapi semangat menulis tetap ada. Ini yang membedakan dengan tahun sebelumnya. Semoga sekarang balik suka dan rajin nulis lagi.

Comments

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

Pluralism: My Version

plu`ral-ism (-noun) condition in which minority groups participate in society, yet maintain their distinctions. Today is Chinese New Year. Being Indonesian-Born-Chinese (IBC), my family has always been taking part in this celebration. No, we were not really doing the rituals, but as a child, I always had fun hunting Hung Bao (small amount of money put in an red envelop). Another memory about Chinese New Year is it was the time when my favorite cousines came from Malang. We would play; and they would possibly have sleepover. It was my childhood. However, I cannot recall what happened when I was slightly older. But I still remember that my mom told me to be an Indonesian. She would say "Nia, you are not Chinese. You are Indonesian." Or she would remind me that I have to respect Indonesian people in spite of their attitude toward ethnic Chinese. She said "We have a confusing story. If we would say we are Chinese, we would be kicked out from this country. Thus we would prob

WSAD? (What Should Ariel Do?)

As a communication expert, we always need to be prepared for crisis communication or disaster management. If a company suffered a bad publication, or when bad things happened, like with BP’s oil spill or Toyota’s cars, the communication people need to work very hard to communicate the right message (while some other people work on to make things right) and to win the public favour again. In theory, companies need to be prepared for crisis way in advance; however not many companies did that. I believe, Ariel had also never thought that such drama would happen, but yeah, here it is, and he has to face it! So, here is my humble opinion regarding what he needs to do to clear the air: Scenario 1: Launch a single/album Celebrities, especially musicians, usually would create a drama or scandal to increase their popularity in order to promote the next movie, single, or album that would be launched. What Ariel could do is to write a song (or an album) as soon as possible and launch it! And thee