percayalah kasih
cinta tak harus memiliki
walau kau dengannya
namun ku yakin hatimu untukku
percayalah kasih
cinta tak harus memiliki
walau kau coba lupakan aku
tapi ku kan slalu ada untukmu
(Ecoutez – Percayalah)
Aku tidak pernah mengerti kenapa aku bisa menyayangimmu sedemikan rupa. Saat itu, kali pertama aku menatap dua bola matamu. Aku seakan menatap sebuah jawaban dari segala pencarianku. Saat aku melihat tingkah ucapmu, seakan aku sudah yakin dimana aku akan berlabuh.
Pada saat itu, aku belum mengenal dirimu. Hanya cerita tentangmu yang sering kudengar. Ah, aku rasa itu sudah cukup untuk mengenalmu. Karena kamu begitu unik, menarik.
Saat aku tahu bahwa kamu telah memiliki seseorang dalam hidupmu, aku tidak takut. Karena keyakinanku begitu besar: engkaulah pelabuhan terakhirku. Mungkinkah anjing menikahi kucing? Atau burung menikahi kura-kura? Kita adalah burung-burung berwarna putih bersih. Mungkin burung merpati.
Hidupmu bebas. Begitu juga hidupku. Aku mendengar engkau adalah wanita perantau sejati. Saat ibumu menghembuskan nafasnya untuk terakhir kali, engaku seperti burung yang sudah siap lepas dari induknya. Engkap mengepakkan sayapmu untuk yang pertama kalinya, terbang seorang diri. Perantauanmu dimulai dari kota Semarang. Di sanalah engkau mengecap indahnya dunia, bebas dari ayah bunda. Di sanalah engaku berikrar mempersembahkan hidupmu untuk masyarakat. Ah, sungguh mulia.
Aku pun sepertimu. Aku suka terbang. Tapi indukku baik-baik saja, mereka lah yang sangat mendukung perjalananku ke dunia lain. Di ibukotalah aku memilih untuk memintal sangkarku yang pertama. Petikan gitar yang katanya hanya mampu membeli sekotak rokok atau secangkir kopi dan pisang goreng, ternyata mampu menghadirkan sebuah mobil Mitsubishi Galant tahun 1997. Tidak mewah, namun cukup untuk membawaku datang ke kota kelahiranmu.
Sekali lagi, aku tidak takut akan siapapun yang bersiap menyandingmu, karena aku yakin, engkaulah pelabuhanku.
Entah keyakinanku yang mati rasa atau aku memang manusia bodoh, tapi semua kalkulasiku meleset. Tidak sedikit usaha yang kulakukan untuk terbang bersamamu, untuk menyelami pikiranmu, dan untuk mendapatkan cintamu. Awalnya kulihat kamu mulai menyadari bahwa ada burung sejenis yang bersedia terbang bersamamu. Membawamu ke masa depan yang penuh dengan liku-liku kehidupan. Tapi bahagia. Kamu mulai sadar bahwa monyet, kura-kura, atau ular tidak pernah bisa terbang. Mereka akan diam dan nyaman saja di komunitasnya. Sedangkan kamu adalah petualang, kamu ingin terbang.
Tapi kura-kura, monyet, ular, buaya, anjing atau siapapun dia, telah menaburkan racun di hatimu. Atau dia mungkin lebih jahat dari itu? Dia sudah mematahkan sayapmu, menjual impianmu di pasar loak? Atau dia malah memotong paruhmu dan menjualnya ke museum? Kamu memilih untuk tinggal bersamanya. Kamu memilih untuk melahirkan anak-anaknya. Tidak! Tidak! Kamu lah pelabuhanku, wahai sang merpati! Sekali lagi tidak, kamu harus denganku.
Sepekan, dua pekan, dan entah berapa pekan aku menantimu. Aku menantimu bermain-main di sangkarku. Aku menanti kita bercuit-cuit bersama, menggoyangkan sayap-sayap kita, bermain terbang-terbang mengelilingi sangkar, atau hanya sekedar memakani biji-bijian di rumput. Seperti waktu itu. Aku kangen.
Pelahan-lahan, aku mulai menyadari kebodohanku. Pelahan, aku mengepakkan sayapku, kembali ke sangkar lamaku. Mencari wanita lain, yang memiliki mata yang sama, yang memiliki tingkah ucap yang sama, sambil terus berharap, suatu saat Tuhan menyadari bahwa Ia telah membuat kesalahan yang besar.
Dan aku pun bernyanyi,..
cinta tak harus memiliki
walau kau dengannya
namun ku yakin hatimu untukku
percayalah kasih
cinta tak harus memiliki
walau kau coba lupakan aku
tapi ku kan slalu ada untukmu
(Ecoutez – Percayalah)
Aku tidak pernah mengerti kenapa aku bisa menyayangimmu sedemikan rupa. Saat itu, kali pertama aku menatap dua bola matamu. Aku seakan menatap sebuah jawaban dari segala pencarianku. Saat aku melihat tingkah ucapmu, seakan aku sudah yakin dimana aku akan berlabuh.
Pada saat itu, aku belum mengenal dirimu. Hanya cerita tentangmu yang sering kudengar. Ah, aku rasa itu sudah cukup untuk mengenalmu. Karena kamu begitu unik, menarik.
Saat aku tahu bahwa kamu telah memiliki seseorang dalam hidupmu, aku tidak takut. Karena keyakinanku begitu besar: engkaulah pelabuhan terakhirku. Mungkinkah anjing menikahi kucing? Atau burung menikahi kura-kura? Kita adalah burung-burung berwarna putih bersih. Mungkin burung merpati.
Hidupmu bebas. Begitu juga hidupku. Aku mendengar engkau adalah wanita perantau sejati. Saat ibumu menghembuskan nafasnya untuk terakhir kali, engaku seperti burung yang sudah siap lepas dari induknya. Engkap mengepakkan sayapmu untuk yang pertama kalinya, terbang seorang diri. Perantauanmu dimulai dari kota Semarang. Di sanalah engkau mengecap indahnya dunia, bebas dari ayah bunda. Di sanalah engaku berikrar mempersembahkan hidupmu untuk masyarakat. Ah, sungguh mulia.
Aku pun sepertimu. Aku suka terbang. Tapi indukku baik-baik saja, mereka lah yang sangat mendukung perjalananku ke dunia lain. Di ibukotalah aku memilih untuk memintal sangkarku yang pertama. Petikan gitar yang katanya hanya mampu membeli sekotak rokok atau secangkir kopi dan pisang goreng, ternyata mampu menghadirkan sebuah mobil Mitsubishi Galant tahun 1997. Tidak mewah, namun cukup untuk membawaku datang ke kota kelahiranmu.
Sekali lagi, aku tidak takut akan siapapun yang bersiap menyandingmu, karena aku yakin, engkaulah pelabuhanku.
Entah keyakinanku yang mati rasa atau aku memang manusia bodoh, tapi semua kalkulasiku meleset. Tidak sedikit usaha yang kulakukan untuk terbang bersamamu, untuk menyelami pikiranmu, dan untuk mendapatkan cintamu. Awalnya kulihat kamu mulai menyadari bahwa ada burung sejenis yang bersedia terbang bersamamu. Membawamu ke masa depan yang penuh dengan liku-liku kehidupan. Tapi bahagia. Kamu mulai sadar bahwa monyet, kura-kura, atau ular tidak pernah bisa terbang. Mereka akan diam dan nyaman saja di komunitasnya. Sedangkan kamu adalah petualang, kamu ingin terbang.
Tapi kura-kura, monyet, ular, buaya, anjing atau siapapun dia, telah menaburkan racun di hatimu. Atau dia mungkin lebih jahat dari itu? Dia sudah mematahkan sayapmu, menjual impianmu di pasar loak? Atau dia malah memotong paruhmu dan menjualnya ke museum? Kamu memilih untuk tinggal bersamanya. Kamu memilih untuk melahirkan anak-anaknya. Tidak! Tidak! Kamu lah pelabuhanku, wahai sang merpati! Sekali lagi tidak, kamu harus denganku.
Sepekan, dua pekan, dan entah berapa pekan aku menantimu. Aku menantimu bermain-main di sangkarku. Aku menanti kita bercuit-cuit bersama, menggoyangkan sayap-sayap kita, bermain terbang-terbang mengelilingi sangkar, atau hanya sekedar memakani biji-bijian di rumput. Seperti waktu itu. Aku kangen.
Pelahan-lahan, aku mulai menyadari kebodohanku. Pelahan, aku mengepakkan sayapku, kembali ke sangkar lamaku. Mencari wanita lain, yang memiliki mata yang sama, yang memiliki tingkah ucap yang sama, sambil terus berharap, suatu saat Tuhan menyadari bahwa Ia telah membuat kesalahan yang besar.
Dan aku pun bernyanyi,..
Comments