Seperti yang saya udah cerita kemarin diblog Free Prayer saya, saya agak freaking out akhir-akhir ini melihat the fact saya mau pulang.
Kemarin jumat adalah hari terakhir saya kerja di Albert Heijn. Lucu banget rasanya say goodbye to people not sure whether you will see them again. Jadi saya bilang ke beberapa orang “Dag, je zie me misschien niet meer” (bye, you probably don’t see me again). Trus pelukan sama beberapa orang.
Ah, itulah awal perasaan kehilangan saya. Kemarin (sabtu) adalah hanging out day for penghuni diemerkade minus Golda yang lagi vacantie (liburan) ma nyokap. Hari diawali dengan having fun dan annoying karena Daniel salah makan obat. Daniel yang biasanya cool, hari ini berkicau. Heheh,..tapi fun kok! Trus kejatuhan mood saya dimulai dari pas di Volendam ada lusinan orang indonesia.
Seperti yang mungkin teman-teman ketahui, saya kurang suka kalo ketemu orang indo di Belanda. Nggak semua orang indo sih, kadang saya okeh-okeh aja, tapi kadang, kalo orang indo yang udah tua-tua, alias tante-tante or oom-oom; atau keluarga or kelompok yang lagi liburan bareng di Belanda, saya agak segan berbaik-baik ama mereka atau menunjukkan tampang indonesia saya. Saya lebih milih menjauh dan ngomong bahasa belanda. Mereka rese, saya suka diliatin atas bawah. Atau yang lebih parah, digangguin, diisengin, atau dikomentari yang nggak penting.
Saya jadi inget pas ke Leidseplein ama Elvin dan Ulma. Kita jalan-jalan, becanda pake bahasa Indo, eh,.. tiba-tiba ada mas-mas yang ngomong “Apa kabar, orang indo ya mbak?” (Dhee,.. Are we speaking Mars language?) Trus mas yang sebelahnya malah nyanyi lagunya Evi Tamala “Selamat malam duhai kekasih!” Doo,.. parah. Rese kan?!
Kemarin ini di Volendam juga gitu. Pas aku start talking in Indonesian, khas djowo, orang-orang indo yang kayaknya juga dari jawa (timur), menatapku atas bawah depan belakang kanan kiri. Rese!
Tapi alhasil, saya dimarahi Daniel (yang seperti dibaca diatas, salah minum obat hari itu :P), karena kata Daniel saya overacting. Nggak perlu ngerasa gitu, gitu katanya. Terus saya pikir, apa saya overacting ya? Apa saya keterlaluan? Kok saya nggak ngerasa comfortable di tengah-tengah orang-orang indo? Kenapa saya mau menghindari mereka? Kenapa saya agak ilfil melihat keramaian dan keramahan mereka?
Bingung.
Inilah moment dimana mood saya hancur. Sejak dari Volendam saya jadi mikiiir terus. Kenapa gini, kenapa gitu? Kok bisa gini?
Lalu ketika pulang naik Tram 9, kami melewati daerah Linneausstraat, daerah tempat saya kerja di Albert Heijn. Jalan yang selalu saya lalui dengan sepeda second hand saya untuk ke tempat kerja. Jalan dimana saya selalu harus ngebut untuk sampek tepat waktu di Albert Heijn. Perasaan saya jadi tambah hancur. Saya nggak akan pernah lagi naek sepeda, ngebut, or jatuh dari sepeda lagi.
Saya jadi sedih. Lalu saya memilih untuk menutup mata, menikmati matahari yang masih bersinar dan pura-pura tidur. Untuk menitikkan air mata, rasanya terlalu dini, masih 5 days to go. And in these days, saya harus mulai say goodbye to everything. Start from my freedom and Independency, I think.
Kemarin jumat adalah hari terakhir saya kerja di Albert Heijn. Lucu banget rasanya say goodbye to people not sure whether you will see them again. Jadi saya bilang ke beberapa orang “Dag, je zie me misschien niet meer” (bye, you probably don’t see me again). Trus pelukan sama beberapa orang.
Ah, itulah awal perasaan kehilangan saya. Kemarin (sabtu) adalah hanging out day for penghuni diemerkade minus Golda yang lagi vacantie (liburan) ma nyokap. Hari diawali dengan having fun dan annoying karena Daniel salah makan obat. Daniel yang biasanya cool, hari ini berkicau. Heheh,..tapi fun kok! Trus kejatuhan mood saya dimulai dari pas di Volendam ada lusinan orang indonesia.
Seperti yang mungkin teman-teman ketahui, saya kurang suka kalo ketemu orang indo di Belanda. Nggak semua orang indo sih, kadang saya okeh-okeh aja, tapi kadang, kalo orang indo yang udah tua-tua, alias tante-tante or oom-oom; atau keluarga or kelompok yang lagi liburan bareng di Belanda, saya agak segan berbaik-baik ama mereka atau menunjukkan tampang indonesia saya. Saya lebih milih menjauh dan ngomong bahasa belanda. Mereka rese, saya suka diliatin atas bawah. Atau yang lebih parah, digangguin, diisengin, atau dikomentari yang nggak penting.
Saya jadi inget pas ke Leidseplein ama Elvin dan Ulma. Kita jalan-jalan, becanda pake bahasa Indo, eh,.. tiba-tiba ada mas-mas yang ngomong “Apa kabar, orang indo ya mbak?” (Dhee,.. Are we speaking Mars language?) Trus mas yang sebelahnya malah nyanyi lagunya Evi Tamala “Selamat malam duhai kekasih!” Doo,.. parah. Rese kan?!
Kemarin ini di Volendam juga gitu. Pas aku start talking in Indonesian, khas djowo, orang-orang indo yang kayaknya juga dari jawa (timur), menatapku atas bawah depan belakang kanan kiri. Rese!
Tapi alhasil, saya dimarahi Daniel (yang seperti dibaca diatas, salah minum obat hari itu :P), karena kata Daniel saya overacting. Nggak perlu ngerasa gitu, gitu katanya. Terus saya pikir, apa saya overacting ya? Apa saya keterlaluan? Kok saya nggak ngerasa comfortable di tengah-tengah orang-orang indo? Kenapa saya mau menghindari mereka? Kenapa saya agak ilfil melihat keramaian dan keramahan mereka?
Bingung.
Inilah moment dimana mood saya hancur. Sejak dari Volendam saya jadi mikiiir terus. Kenapa gini, kenapa gitu? Kok bisa gini?
Lalu ketika pulang naik Tram 9, kami melewati daerah Linneausstraat, daerah tempat saya kerja di Albert Heijn. Jalan yang selalu saya lalui dengan sepeda second hand saya untuk ke tempat kerja. Jalan dimana saya selalu harus ngebut untuk sampek tepat waktu di Albert Heijn. Perasaan saya jadi tambah hancur. Saya nggak akan pernah lagi naek sepeda, ngebut, or jatuh dari sepeda lagi.
Saya jadi sedih. Lalu saya memilih untuk menutup mata, menikmati matahari yang masih bersinar dan pura-pura tidur. Untuk menitikkan air mata, rasanya terlalu dini, masih 5 days to go. And in these days, saya harus mulai say goodbye to everything. Start from my freedom and Independency, I think.
Comments