Daster Batik
Pagi itu Nie datang ke kantor disambut oleh kumpulan ibu-ibu yang tidak jelas dari mana dan mau apa.
“Assalamualaikum” sapa Nie.
“Waalaikumsalam” jawab kumpulan ibu-ibu itu serempak.
Nie menyunggingkan senyum, berusaha menampilkan senyum yang termanis untuk mereka. Semakin aku masuk ke dalam kantorku, semakin banyak ibu-ibu yang duduk lesehan di depan kantorku.
Nie bergegas masuk ke ruangan admin, ada Hetty dan Wardah di sana. “Dah, kenapa ada ibu-ibu itu di situ?” Nie bertanya ke Wardah asal muasal ibu-ibu itu. “Oh, Pak Welly menugaskan karyawan kita yang di lapangan untuk mencari ibu-ibu yang membutuhkan sumbangan baju daster. Ibu-ibu korban tsunami. Ya itulah, bu, ibu-ibu yang akan diberikan sumbangan baju daster.”
Nie mencermati kumpulan ibu-ibu itu. Ada yang masih muda belia, ada yang sudah tua, entah apa rambutnya sudah putih semua karena uban, atau disemir hitam mengkilap. Aku tak tahu, karena semua ibu-ibu menutupi auratnya, dari kepala sampai ujung kaki. Jadi kepala mereka ditutup manis dengan jilbab. Ada ibu-ibu yang membawa anak, ada yang datang ditunggui suaminya. Ada berbagai macam ibu-ibu di kantor.
Namun, ada satu kesamaan dari ibu-ibu itu, hampir semua ibu-ibu itu memakai perhiasan emas, baik kalung, gelang, atau cincin. Ada beberapa ibu-ibu yang memakai lebih dari satu jenis perhiasan, kalung atau gelang bertumpuk-tumpuk layaknya dukun, atau cincin di setiap jarinya, seperti tukang ramal.
Nie termenung, bertanya dalam hati, apa benar mereka butuh bantuan daster? Bukankah harga perhiasan-perhiasan emas itu jauh lebih mahal daripada selembar daster?
***
Itulah sepenggal kejadian yang menggugah nurani Nie, dan masih ada serentetan kejadian yang kadang membuat Nie marah atau sampai menangis.
Sudah lebih dari setengah tahun Nie tinggal dan bekerja di salah satu kota di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu alasan Nie ingin mengabdikan diri di kota yang beberapa tahun silam dihancur-leburkan oleh tsunami adalah ingin memberikan bantuan pada masyarakat Aceh. Mungkin bukan bantuan berupa uang, karena seperti kata Rasul Petrus dan Yahya, emas dan perak aku tak punya. Jadi yang bisa Nie berikan adalah tenaga atau kepintaran.
Namun, beberapa hari setelah Nie menginjakkan kaki di bumi Aceh ini, ada rasa penyesalan yang begitu mendalam. Mengapa Nie bisa nyampe ke sini?
***
Kereta Kencana
Minggu-minggu awal petualanganku di bumi Aceh ini diwarnai dengan kunjungan ke TLC (temporary living centres) atau biasa dikenal dengan sebutan barak. Ada yang bilang ini barak pengungsian. But, yeah, you’re right!
Oke, penampilan luar bisa saja kita sebut tempat ini sebagai barak, namun, kalau ditilik dari definisi barak, Nie rasa disebut RSS (Rumah Sangat Sederhana) saja masih belum cocok.
Hari itu, Nie bersama seorang kolega berjalan menyusuri sebuah lokasi barak di sebuah kecamatan di Aceh Barat. Nie melihat dari jauh barak-barak itu. Ah ya, Tuhan, bagaimana mereka bisa tinggal di tempat seperti itu. Atap rumbia, dinding-dinding triplek, air sungai yang mengalir yang berfungsi untuk apa saja dan siapa saja, dan siang itu, panas sangat terik. Hatiku teriris-iris.
Semakin dekat, Nie menjadi bingung. Di depan barak-barak itu ada sejumlah kereta (sepeda motor) yang diparkir dengan rapinya. Ada satu-dua kereta yang plat nomornya masih berwarna putih merah. Nie tercengang, milik merekakah itu?
Kolega Nie seakan bisa membaca pikiran Nie, “Jangan salah, Nie, mereka boleh tinggal di barak, namun kereta, mereka wajib punya. Lihat rumah di pojok itu. Ya, bapak itu punya anak tiga, dan masing-masing anaknya punya satu kereta, ditambah kereta miliknya. Jadi keluarga itu punya empat kereta!” Bibirku terkatup. Nie benar-benar tidak bisa bicara. Mata Nie menyapu keadaan di barak itu. Ya, ternyata benar. Hampir di depan setiap rumah ada satu atau dua kereta, bahkan ada yang lebih.
“Darimana mereka mendapat uang untuk beli semua itu?” Aku seperti orang linglung. Kolegaku tersenyum sinis, “ya bantuan NGO lah! Uang yang mereka dapat, ya mereka buat beli kereta, atau emas, atau handphone. Atau bantuan dari NGO seperti mesin jahit, perahu, atau becak mesin, mereka jual, dan ya uangnya buat memenuhi kebutuhan gengsi mereka.”
Aku terdiam.
Dan hari ini, Nie sudah kenyang melihat kenyataan hidup di bumi Aceh ini. For your information, orang-orang Aceh ini tidak miskin. Mungkin ada secuil orang-orang yang masih butuh bantuan, tapi kenapa bukan saudara-saudara mereka saja yang membantu? Kenapa masih butuh NGO atau LSM atau kucuran dana dari pemerintah Jakarta?
Anak-anak tetangga sebelah rumahku di sini, yang umurnya paling sepuluh, sebelas, atau duabelas tahun, punya handphone yang jauuh lebih keren daripada punyaku. Ringtone handphone mereka sudah lagu-lagunya Radja, Peterpan atau Ungu, sedangkan punya Nie masih polyphonic ringtone yang nggak jelas lagu apa itu. Mereka pun udah tahu MMS, bluetooth dan segala tetek bengek handphone, sedang Nie, ya cuma SMS saja lah!
***
Di Pi Di
Malam tadi, Nie pengen banget makan martabak manis. Bang Peter sempat merekomendasikan satu pedagang martabak Bangka yang enak banget. Alhasil, Nie merajuk Kak Rida untuk menemani Nie beli martabak Bangka di tempat itu.
Jadilah tadi beli martabak Bangka plus isi minyak (bensin) plus mengunjungi teman baik kami, Kak Yon, yang lagi sakit (cepet sembuh ya, kak!).
Dalam perjalanan pulang, Nie melamunkan betapa enaknya martabak Bangka ini. Hm,... sudah beberapa hari ini Nie diet, ya maklum lah, namanya cewek, perawan ting-ting, dan masih muda, ya harus jaga badan. Tapi hari ini, Nie pengen banget makan martabak ini. Manis-manis, ditambah dengan rasa asinnya keju, dan hari ini Kak Rida minta dikasih jagung. Hm, yummy! So, forget about diet!
Tiba-tiba, Nie melihat mobil City yang plat nomornya masih putih merah. Dalam hati, yeah, right, another gengsi victim! Emang kok, orang Aceh ini kaya-kaya. Mobil-mobil keren sudah mulai berdatangan. Minggu lalu, Nie melihat sebuah mobil sedan, warna merah maroon, dengan logo berbentuk lingkaran, ada warna putih dan birunya, dan bertuliskan BMW. Gila! Gitu katanya korban tsunami.
Mobil City itu bergerak mendahului kereta kami. Dan,..Goodness me! Anjrit! Edan! Dan semua umpatan tiba-tiba keluar dari mulut Nie. Kak Rida agak kaget mendengar jeritan Nie. “Kak, lihat, di mobil itu ada DVD player. Jadi mereka bisa melihat DVD di dalam mobil!!” Nie berteriak-teriak sambil menunjuk mobil City silver yang Nie maksud. What the heck?!
Kak Rida tertawa sinis. Nie masih terus ngomel, teruus, sampai kami tiba di depan rumah, Nie masih ngoceh terus.
***
Nie tidak mau didatangi oleh intel presiden atau, at least, bodyguard Gubernur Irwandi karena tulisan Nie yang ini. Nie tidak bilang kalo orang Aceh sudah TIDAK BUTUH bantuan dari orang-orang lain, TIDAK BUTUH bantuan dari NGO-NGO luar negeri. Tidak.
Yang Nie mau bilang adalah orang-orang Aceh itu tidak semenderita yang kita pikirkan atau bayangkan. Tinggalnya boleh di barak (or kerennya TLC), tapi, kereta banyak, handphone berlimpah, dan punya PARABOLA. Nah, apa mereka masih butuh dibantu? Tidak, kan.
Tau nggak, ada lho orang-orang yang secara SADAR memilih untuk tinggal di barak. Kenapa? Karena kalau tinggal di barak, mereka dapat bantuan dari NGO atau pemerintah, seperti gratis pake listrik, gratis air, dan dulu dapet gratis jadup (jatah hidup: minyak, beras, etc.). So, mereka mikir, daripada tinggal di rumah yang layak tapi harus bayar listrik sendiri, air sendiri, ya tinggal di barak aja. Gila ya!
Tapi memang ada orang-orang yang bernasib malang, yang memang harus dan untuk sementara waktu, ditakdirkan tinggal di barak. Mereka yang rumahnya kebanjiran kalo hujan turun, yang ngga bisa tidur kalau panas atau hujan karena atap rumbianya cuma tinggal separoh. Mereka yang harus mandi, cuci pakaian, buang hajat, dan minum menggunakan air aliran sungai yang sama, karena bantuan supply air dari NGO sudah selesai.
Masih ada. So, sekarang tinggal kitanya yang harus jeli, jangan terkecoh dengan rumah, muka melas, atau kata-kata manis orang-orang ini. Karena kebanyakan dari mereka, in fact, tidak miskin. Mungkin hati mereka yang miskin, miskin pengakuan, miskin rasa puas, miskin rasa bangga, miskin hati nurani, dan miskin kejujuran.
Pagi itu Nie datang ke kantor disambut oleh kumpulan ibu-ibu yang tidak jelas dari mana dan mau apa.
“Assalamualaikum” sapa Nie.
“Waalaikumsalam” jawab kumpulan ibu-ibu itu serempak.
Nie menyunggingkan senyum, berusaha menampilkan senyum yang termanis untuk mereka. Semakin aku masuk ke dalam kantorku, semakin banyak ibu-ibu yang duduk lesehan di depan kantorku.
Nie bergegas masuk ke ruangan admin, ada Hetty dan Wardah di sana. “Dah, kenapa ada ibu-ibu itu di situ?” Nie bertanya ke Wardah asal muasal ibu-ibu itu. “Oh, Pak Welly menugaskan karyawan kita yang di lapangan untuk mencari ibu-ibu yang membutuhkan sumbangan baju daster. Ibu-ibu korban tsunami. Ya itulah, bu, ibu-ibu yang akan diberikan sumbangan baju daster.”
Nie mencermati kumpulan ibu-ibu itu. Ada yang masih muda belia, ada yang sudah tua, entah apa rambutnya sudah putih semua karena uban, atau disemir hitam mengkilap. Aku tak tahu, karena semua ibu-ibu menutupi auratnya, dari kepala sampai ujung kaki. Jadi kepala mereka ditutup manis dengan jilbab. Ada ibu-ibu yang membawa anak, ada yang datang ditunggui suaminya. Ada berbagai macam ibu-ibu di kantor.
Namun, ada satu kesamaan dari ibu-ibu itu, hampir semua ibu-ibu itu memakai perhiasan emas, baik kalung, gelang, atau cincin. Ada beberapa ibu-ibu yang memakai lebih dari satu jenis perhiasan, kalung atau gelang bertumpuk-tumpuk layaknya dukun, atau cincin di setiap jarinya, seperti tukang ramal.
Nie termenung, bertanya dalam hati, apa benar mereka butuh bantuan daster? Bukankah harga perhiasan-perhiasan emas itu jauh lebih mahal daripada selembar daster?
***
Itulah sepenggal kejadian yang menggugah nurani Nie, dan masih ada serentetan kejadian yang kadang membuat Nie marah atau sampai menangis.
Sudah lebih dari setengah tahun Nie tinggal dan bekerja di salah satu kota di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu alasan Nie ingin mengabdikan diri di kota yang beberapa tahun silam dihancur-leburkan oleh tsunami adalah ingin memberikan bantuan pada masyarakat Aceh. Mungkin bukan bantuan berupa uang, karena seperti kata Rasul Petrus dan Yahya, emas dan perak aku tak punya. Jadi yang bisa Nie berikan adalah tenaga atau kepintaran.
Namun, beberapa hari setelah Nie menginjakkan kaki di bumi Aceh ini, ada rasa penyesalan yang begitu mendalam. Mengapa Nie bisa nyampe ke sini?
***
Kereta Kencana
Minggu-minggu awal petualanganku di bumi Aceh ini diwarnai dengan kunjungan ke TLC (temporary living centres) atau biasa dikenal dengan sebutan barak. Ada yang bilang ini barak pengungsian. But, yeah, you’re right!
Oke, penampilan luar bisa saja kita sebut tempat ini sebagai barak, namun, kalau ditilik dari definisi barak, Nie rasa disebut RSS (Rumah Sangat Sederhana) saja masih belum cocok.
Hari itu, Nie bersama seorang kolega berjalan menyusuri sebuah lokasi barak di sebuah kecamatan di Aceh Barat. Nie melihat dari jauh barak-barak itu. Ah ya, Tuhan, bagaimana mereka bisa tinggal di tempat seperti itu. Atap rumbia, dinding-dinding triplek, air sungai yang mengalir yang berfungsi untuk apa saja dan siapa saja, dan siang itu, panas sangat terik. Hatiku teriris-iris.
Semakin dekat, Nie menjadi bingung. Di depan barak-barak itu ada sejumlah kereta (sepeda motor) yang diparkir dengan rapinya. Ada satu-dua kereta yang plat nomornya masih berwarna putih merah. Nie tercengang, milik merekakah itu?
Kolega Nie seakan bisa membaca pikiran Nie, “Jangan salah, Nie, mereka boleh tinggal di barak, namun kereta, mereka wajib punya. Lihat rumah di pojok itu. Ya, bapak itu punya anak tiga, dan masing-masing anaknya punya satu kereta, ditambah kereta miliknya. Jadi keluarga itu punya empat kereta!” Bibirku terkatup. Nie benar-benar tidak bisa bicara. Mata Nie menyapu keadaan di barak itu. Ya, ternyata benar. Hampir di depan setiap rumah ada satu atau dua kereta, bahkan ada yang lebih.
“Darimana mereka mendapat uang untuk beli semua itu?” Aku seperti orang linglung. Kolegaku tersenyum sinis, “ya bantuan NGO lah! Uang yang mereka dapat, ya mereka buat beli kereta, atau emas, atau handphone. Atau bantuan dari NGO seperti mesin jahit, perahu, atau becak mesin, mereka jual, dan ya uangnya buat memenuhi kebutuhan gengsi mereka.”
Aku terdiam.
Dan hari ini, Nie sudah kenyang melihat kenyataan hidup di bumi Aceh ini. For your information, orang-orang Aceh ini tidak miskin. Mungkin ada secuil orang-orang yang masih butuh bantuan, tapi kenapa bukan saudara-saudara mereka saja yang membantu? Kenapa masih butuh NGO atau LSM atau kucuran dana dari pemerintah Jakarta?
Anak-anak tetangga sebelah rumahku di sini, yang umurnya paling sepuluh, sebelas, atau duabelas tahun, punya handphone yang jauuh lebih keren daripada punyaku. Ringtone handphone mereka sudah lagu-lagunya Radja, Peterpan atau Ungu, sedangkan punya Nie masih polyphonic ringtone yang nggak jelas lagu apa itu. Mereka pun udah tahu MMS, bluetooth dan segala tetek bengek handphone, sedang Nie, ya cuma SMS saja lah!
***
Di Pi Di
Malam tadi, Nie pengen banget makan martabak manis. Bang Peter sempat merekomendasikan satu pedagang martabak Bangka yang enak banget. Alhasil, Nie merajuk Kak Rida untuk menemani Nie beli martabak Bangka di tempat itu.
Jadilah tadi beli martabak Bangka plus isi minyak (bensin) plus mengunjungi teman baik kami, Kak Yon, yang lagi sakit (cepet sembuh ya, kak!).
Dalam perjalanan pulang, Nie melamunkan betapa enaknya martabak Bangka ini. Hm,... sudah beberapa hari ini Nie diet, ya maklum lah, namanya cewek, perawan ting-ting, dan masih muda, ya harus jaga badan. Tapi hari ini, Nie pengen banget makan martabak ini. Manis-manis, ditambah dengan rasa asinnya keju, dan hari ini Kak Rida minta dikasih jagung. Hm, yummy! So, forget about diet!
Tiba-tiba, Nie melihat mobil City yang plat nomornya masih putih merah. Dalam hati, yeah, right, another gengsi victim! Emang kok, orang Aceh ini kaya-kaya. Mobil-mobil keren sudah mulai berdatangan. Minggu lalu, Nie melihat sebuah mobil sedan, warna merah maroon, dengan logo berbentuk lingkaran, ada warna putih dan birunya, dan bertuliskan BMW. Gila! Gitu katanya korban tsunami.
Mobil City itu bergerak mendahului kereta kami. Dan,..Goodness me! Anjrit! Edan! Dan semua umpatan tiba-tiba keluar dari mulut Nie. Kak Rida agak kaget mendengar jeritan Nie. “Kak, lihat, di mobil itu ada DVD player. Jadi mereka bisa melihat DVD di dalam mobil!!” Nie berteriak-teriak sambil menunjuk mobil City silver yang Nie maksud. What the heck?!
Kak Rida tertawa sinis. Nie masih terus ngomel, teruus, sampai kami tiba di depan rumah, Nie masih ngoceh terus.
***
Nie tidak mau didatangi oleh intel presiden atau, at least, bodyguard Gubernur Irwandi karena tulisan Nie yang ini. Nie tidak bilang kalo orang Aceh sudah TIDAK BUTUH bantuan dari orang-orang lain, TIDAK BUTUH bantuan dari NGO-NGO luar negeri. Tidak.
Yang Nie mau bilang adalah orang-orang Aceh itu tidak semenderita yang kita pikirkan atau bayangkan. Tinggalnya boleh di barak (or kerennya TLC), tapi, kereta banyak, handphone berlimpah, dan punya PARABOLA. Nah, apa mereka masih butuh dibantu? Tidak, kan.
Tau nggak, ada lho orang-orang yang secara SADAR memilih untuk tinggal di barak. Kenapa? Karena kalau tinggal di barak, mereka dapat bantuan dari NGO atau pemerintah, seperti gratis pake listrik, gratis air, dan dulu dapet gratis jadup (jatah hidup: minyak, beras, etc.). So, mereka mikir, daripada tinggal di rumah yang layak tapi harus bayar listrik sendiri, air sendiri, ya tinggal di barak aja. Gila ya!
Tapi memang ada orang-orang yang bernasib malang, yang memang harus dan untuk sementara waktu, ditakdirkan tinggal di barak. Mereka yang rumahnya kebanjiran kalo hujan turun, yang ngga bisa tidur kalau panas atau hujan karena atap rumbianya cuma tinggal separoh. Mereka yang harus mandi, cuci pakaian, buang hajat, dan minum menggunakan air aliran sungai yang sama, karena bantuan supply air dari NGO sudah selesai.
Masih ada. So, sekarang tinggal kitanya yang harus jeli, jangan terkecoh dengan rumah, muka melas, atau kata-kata manis orang-orang ini. Karena kebanyakan dari mereka, in fact, tidak miskin. Mungkin hati mereka yang miskin, miskin pengakuan, miskin rasa puas, miskin rasa bangga, miskin hati nurani, dan miskin kejujuran.
Comments
truly...
a phenomenon..
wow..
jd agak speechless saya
Malulah aku akan bangsaku...
Smua-muanya demi gengsi, tapi dignity nol besar. Dan beginian ini jg keliatannya tersebar di seluruh indo deh virusnya.. totally misled.
What can we do ya buat ngubah mentalitas "rendahan" kaya gini...sorry if it sounds harsh..it does bother me..massively.
Smoga dibukakan logika dan mata hati nya...
Isrina
Pengamatan yang sangat bagus. Itulah karakter bangsa kita...
Menurut ku kamu bisa membawa isu ini ke tingkatan pertemuan MGO international. Kegiatan yang memberikan uang ternyata tidak pas buat mereka. SEharusnya ada mekanisme lainnya..
Kenapa kalian ndak bikin sebuah program yang memberikan kemandirian kepada masyarakat??Kenapa nggak bikin program yang membeikan kemandirian ekonomi kepada masyarakat?? Berikan bantuan yang bersifat kolektif sehingga ada tanggung jawab kolektif??
Masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini..Karena saat ini kamu punya akses untuk mengubah kebijakan NGO itu, lakukan lah..
Chauft
kenapa ga buat tulisan dan kasih ke majalah? or kalo mau ke ranesi (radio nederland) :P hehehe.. yg kayak gini orang di luar aceh jarang liatnya :)
tapi emang katanya, bahkan yg bangun rumah di aceh itu orang jawa ya? segitunya kah gengsi mereka?
eh btw, ak quote buat di blog ak ya ;)
mudah2an...eh, jangan sampai di aceh terjadi perputaran uang yang besar dengan manfaat yang kecil..
jangan sampai..yang membantu tidak selektif menyusun program & beneficiaries -asal duit donor sudah terhabiskan dan mereka bisa dapat gaji- (besar, lagi..)..
jangan sampai...yang dibantu sudah berkecukupan tapi terus menuntut..
mungkin sebagai 'pekerja kemanusiaan' yang niat awalnya sama tulus, kita harus merekonstruksi niat dan rencana kerja lagi biar lebih efektif..tepat sasaran..hmm..memang gak gampang, ya...
ikut2an speechless...
terima kasih ya mbak nia, atas cerita ini. btw, salam kenal.