Skip to main content

Institut Tukang Pukul Indonesia

Hari Kamis lalu, Nie sudah bertekad untuk membeli Koran Tempo. Bang Bi-E uda berkali-kali mempromosikan koran ini, tapi Nie masih belum aja beli. Di sini susah sih, cari koran itu! Kompas aja, yang begitu membumi suka telat sehari. Yang paling tepat waktu ya Serambi. So, finally, hari Kamis kemarin, Nie beli Koran Tempo pas nunggu pesawat di Bandara Polonia, Medan.

Kekerasan di IPDN, Korban Diduga Tewas Dianiaya. Begitu tulis Headline di Koran Tempo hari Kamis itu.

Nie emang tidak tahu banyak tentang IPDN, kecuali kepanjangannya Institut Pemerintahan Dalam Negeri, itupun setelah nyontek di Koran Tempo. Cliff Muntu, mahasiswa tingkat 2, tewas. Dugaan polisi, penyebabnya adalah penganiayaan yang dilakukan oleh senior-seniornya.


Pamong Praja itu pelayan public. Kenapa harus dilatih secara militeristik?” kata Pak Muladi, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Emang bener banget! Lulusan IPDN ini nanti akan mengabdi kepada Negara, menjadi pegawai negeri, pelayan masyarakat, kalau nasibnya beruntung akan jadi camat, atau mungkin one day akan jadi menteri atau anggota DPR. Ah, who knows?

Tapi mimpi untuk jadi ‘orang’ itu pupus sudah dari harapan kedua orang tua Cliff Muntu, korban penganiayaan yang kesekian kalinya di IPDN. Cliff bukan korban tragedi IPDN yang pertama kalinya, ada sederet nama yang tertera di Koran Tempo, dan juga Metro TV News hari ini (Sabtu, 7 April 2007). Tahun 2000, seorang pria bernama Erie dianiaya oleh senior-seniornya, lalu semenjak tahun 2003 sampai tahun 2005, IPDN telah memulangkan beberapa (mantan) siswanya ke rumah Tuhan Yang Maha Esa. Ya, IPDN seakan membutuhkan tumbal untuk kelangsungan program pendidikan pamong praja itu.

Nie jadi bingung, kenapa calon pegawai pemerintahan malah diajarkan kedisiplinan (katanya) yang seharusnya untuk porsi pelajar militer, TNI, Marinir, atau apapun yang berbau kemiliteran? Awalnya Nie pikir kekerasan ini terjadi pas acara peng-gojlok-an (atau OSPEK) yang dilakukan oleh para senior kepada para junior, tapi ternyata tidak. Kekerasan ini terjadi sepanjang tahun. Kekerasan ini malah dimasukkan dalam kurikulum kedisiplinan. Edan! Kenapa coba?

Yang lebih menyedihkan, kok bisa IPDN itu masih saja bertahan sampai saat ini. Sudah ada beberapa kali ucapan “dibubarkan saja!” tapi tidak pernah terlaksana. Padahal kurikulum dan sistem pendidikan di sana sudah tidak jelas: pendidikan pamong praja atau tukang pukul? Tadi di Metro TV News, dibilang kalau rektor, dosen-dosen, dan para petinggi IPDN tidak bisa mengatasi masalah kekerasan ini; mereka tidak berkutik. Nah, kok bisa yang dosen, guru, rektor malah tidak bisa berkuti. Kok malah jadi mereka yang disetir oleh mahasiswa? Atau mereka disetir oleh uang mahasiswa, sogokan orang tua mahasiswa?


Akhirnya Nie jadi mengerti, kenapa orang-orang ‘atas’ yang ada di pemerintahan kita ini sangat senang bermain kekerasan: pakai tukang pukul atau sewa bodyguard. Ternyata sejak di bangku sekolah, mereka sudah belajar bahwa kekerasan dapat menyelesaikan masalah. Ditambah lagi suatu kehormatan untuk menjadi ‘senior’: semakin senior seseorang, semakin besar kekuasaannya dan semakin tidak bisa dilawan dia.


So, inilah Indonesia, penuh dengan orang-orang yang dengan bangganya duduk di puncak kepemerintahan, yang dengan semena-mena menginjak-injak orang-orang yang di ‘bawah’, hanya karena dia merasa lebih ‘atas’ dibanding mereka yang di ‘bawah’. Dan kosakata menginjak-injak yang saya gunakan diatas tanpa tanda petik, jadi benar-benar menginjak-injak, alias main fisik, main pukul, main hantam, apa saja yang berbau kekerasan.

Ya, inilah Indonesia. Dan bahaya selanjutnya adalah perlindungan dari negara kepada para cecunguk yang melakukan perbuatan hina dina itu. Since senior-senior IPDN bisa berlaku semena-mena, bisa melakukan praktik ‘kedisiplinan’ kepada juniornya, tanpa takut disentuh hukum, tanpa takut dapat skorsing dari institur, mereka akan tumbuh menjadi seorang pamong praja yang tidak hanya mengagungkan posisi atas, menggunakan dan menghalalkan kekerasan, tapi yang juga sadar dan paham bahwa negara melindungi kenistaan yang dilakukannya. Ya, inilah negara kita, Indonesia Raya.

Sad, sad, sad. Shame on us!

Comments

Unknown said…
Aduh Nie...tulisan2 kmu bener2 membuka gejolak2 lama dihatiku..

One of the reasons knp papa-ku ngedukung bgt aku ke Bld, karena I really really was angry with the situation in Indo..yg bikin aku kerja di LSM pas SMA and ikutan demo2..(We knew it never really worked, but sometimes it's necessary). abit freaky for my parents..takut anak gadisnya ntar tau2 ngilang..

Udah agak lama gak begitu paid attention lg, at least krn udah gak pernah interact ma para activists lain, totally lost contact..ehhh pas baca your writings...aku bener2 mulai ngerasa the same horrible sensations menggedor2 dadaku...

We do need to do something, don't we?????? It scares me shitless to sniff what our country is turning into.

Please please keep writing..and I'm really hoping we can organize something good in the near future...

Isrina
Unknown said…
just found this on the web: "Kapolda Minta Temuan Kuburan Misterius di IPDN Diusut

Bandung (ANTARA News) - Informasi adanya enam kuburan misterius di kompleks Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, mendapat perhatian serius Kapolda Jabar Irjen Pol Sunarko DA, bahkan ia memerintahkan Tim III di jajarannya menindaklanjuti temuan tersebut."

yah altho yg punya kampus bilang itu makam dosen dan keluarga dosen.

kampus berhantu -.-
Oma Nia said…
thanks teman-teman untuk comment-nya. Kejadian-kejadian kayak gini nih yang mengusik aku. So,.. hm, mbak isrina, saya nih lg mo ambil master, rencana nya dibidang media and politics or sociology. doain ya :)

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

Cold Feet

One of my closest friends is getting married tomorrow another one in May another one in November. and an ex-classmate is also getting married in April/May. and, I dreamed about getting married last night. I remember some months ago I was so enthusiastic with the idea of getting married. Although I knew that our relationship was not yet ready for that stage, I was so pushy to Stefy. I had asked him when exactly we would get married. Ah well, it was all the flashy things that I longed for. Right now, what I want is to avoid it! I am just not brave enough to throw myself into this new status. Don't get me wrong, I am probably just like any other girls out there who like the beautiful wedding gown, like to be made up, like to be the queen of the night. But, have you ever considered what would happen after you wave off the guests and head to your own home, starting your new chapter of life? or what would happen after the happy chappy honeymoon? Would we then live

WSAD? (What Should Ariel Do?)

As a communication expert, we always need to be prepared for crisis communication or disaster management. If a company suffered a bad publication, or when bad things happened, like with BP’s oil spill or Toyota’s cars, the communication people need to work very hard to communicate the right message (while some other people work on to make things right) and to win the public favour again. In theory, companies need to be prepared for crisis way in advance; however not many companies did that. I believe, Ariel had also never thought that such drama would happen, but yeah, here it is, and he has to face it! So, here is my humble opinion regarding what he needs to do to clear the air: Scenario 1: Launch a single/album Celebrities, especially musicians, usually would create a drama or scandal to increase their popularity in order to promote the next movie, single, or album that would be launched. What Ariel could do is to write a song (or an album) as soon as possible and launch it! And thee