Namun, sebagian besar kegiatan dalam hidup kita bukan soal itu. Melainkan soal bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak situasi; `menjalani' hidup itu lebih penting daripada hasil akhirnya.
Anda tentu masih ingat sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki lugu yang tengah duduk diteras sebuah kedai dipinggir jalan. Ketika mendekatkan cangkir kopi ke bibirnya, dia terperangah, karena tiba-biba saja ada segerombolan orang yang berlarian. Ia lalu bertanya kepada pelayan;"Kenapa sih orang-orang itu pada berlarian begitu?" Sang pelayan menjawab:"Ini perlombaan lari marathon, Tuan." Ia tersenyum dengan ramah, kemudian melanjutkan:"Pemenangnya akan mendapatkan sebuah piala." Katanya. Lalu lelaki itu berkata;"Kalau hanya pemenangnya yang mendapatkan piala, kenapa orang-orang yang lainnya juga pada ikut berlari...?"
Kemungkinan besar, didunia nyata tidak ada manusia yang cukup lugu untuk melakukan dialog seperti itu. Setidak-tidaknya dalam konteks `lomba lari marathon'. Kita semua tahu bahwa pemenang lomba lari marathon hanya satu orang. Atau paling banyak 3 orang. Jika panitia berbaik hati menyediakan hadiah sampai juara harapan ketiga seperti ketika kita sekolah di TK dulu, maka jumlah pemenangnya paling banyak ada 6 orang. Tetapi, kita tidak cukup bodoh untuk mempertanyakan; "Mengapa ratusan orang lainnya ikut berlari juga?"
Tetapi, mari cermati kehidupan sehari-hari kita. Secara tidak langsung kita sering mengajukan pertanyaan naif seperti itu. Kita begitu seringnya bertanya; kenapa orang kecil seperti kita mesti kerja habis-habisan? Paling hasilnya cuma segitu-gitu juga.
Ketika masih disekolah menengah dulu, saya beberapa kali mengikuti 10K Marathon Competition. Dalam perlombaan itu, selalu saja ada atlet profesional dari pelatda yang ikut serta. Tapi, jumlah mereka tidak banyak. Sedangkan, ratusan peserta lainnya adalah mereka yang paling banter hanya berolah raga seminggu sekali saja, termasuk saya dengan tubuh kerempeng dan napas yang pas-pasan ini. Bahkan ada juga peserta yang sudah lanjut usia. Nyaris tidak mungkin kami bisa menang. Kami semua mengetahui hal itu. Tapi, mengapa kami tetap ikut perlombaan itu? "Ya, kenapa Kakek mengikuti perlombaan ini?" Anda boleh bertanya begitu kepada si Kakek veteran perang kemerdekaan yang ngotot mau ikut perlombaan. Dan dia akan menjawab: "Kakek mah, yang penting sehat, cucu. Tidak apa-apa menang juga. Yang penting sehat...." Alah, yang penting sehat, kata si Kakek.
Kalau anda tanyakan itu kepada orang dewasa lainnya, mereka akan menjawab: "Demi kesehatan, Mas. Kita perlu berolah raga. Kalau menang syukur. Tidak juga yah, tidak apa-apalah. Yang penting sehat." Sedangkan, gadis-gadis remaja berusia belasan tahun akan menjawab: "Tau deh, Mas. Pokoknya seru ajjah. Bisa ketemuan sama teman-teman." Dan dari para lelaki kecil yang sedang puber, mungkin anda akan mendengar: "Asyik Mas. Banyak cewek kece yang ikutan...." Pendek kata, ada begitu banyak alasan mengapa orang ikut serta dalam perlombaan lari marathon itu; meskipun mereka tahu tidak akan menang. Dan diakhir pertandingan, kita selalu bisa menemukan senyum kepuasan disetiap wajah yang mengikuti perlombaan. Ketika sang atlet pelatnas naik pentas untuk menerima tabanas; setiap orang ikut merasa puas. Tidak ada iri di hati ini. Sebab, dari awal pun kita sudah tahu bahwa hadiah tabanas dan piala itu bukan untuk kita.
Kita mempunyai bagian masing-masing dalam perlombaan itu. Sang Kakek, mendapatkan kesempatan untuk berolah raga dengan gembira demi kesehatannya. Para pemuda senang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Para remaja gembira karena bertemu dengan rekan-rekan seusianya. Sambil ngeceng satu sama lain. Dan tampaknya, semua orang mendapatkan kemenangannya masing-masing. Kecuali orang-orang yang memilih tidur dibawah selimut. Dan mereka yang hanya nongkrong dipinggir jalan yang dilewati para pelari.
Lomba lari marathon mungkin sudah bukan olah raga populer lagi dijaman ini. Tetapi, esensinya masih tetap ada hingga kini.
Kehidupan kita, tidak ubahnya seperti perlombaan lari marathon itu. Ada sejumlah hadiah disediakan bagi mereka yang berkoneksi sangat kuat. Bermodal teramat besar. Dan berkedudukan begitu tinggi. Namun, jika saja orang-orang yang tidak memiliki semua keistimewaan itu memilih untuk berhenti sebelum bertanding; kehidupan kita mungkin akan berubah wajah. Menjadi sebuah ironi ketidakberdayaan. Untungnya, sebagian besar manusia sederhana yang kita lihat adalah orang-orang tangguh. Mereka adalah pejuang hebat yang tidak mudah menyerah. Tengoklah mereka yang tidak pernah lelah untuk terus merengkuh hidup. Mengagumkan sekali. Meskipun mereka tahu bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan pendapatan sejumlah miliaran atau sekedar ratusan ribu rupiah saja; namun mereka tetap melangkah, ikut terlarut dalam geliat hidup. Mereka tidak hendak berhenti. Sebab, sekalipun tahu bahwa uang besar adalah jatah orang-orang besar, namun ikut terlibat dalam permainan keseharian adalah pilihan yang paling bijaksana.
Jika kita berkesempatan untuk menyasar ke pasar-pasar pada pukul dua pagi, kita akan menemukan orang-orang dari jenis ini. Tukang gorengan. Para penyapu jalan. Para petugas pembersih toilet digedung-gedung perkantoran. Para buruh tani. Ibu-ibu tukang cuci pakaian. Para hansip dan petugas keamanan. Para guru bantu disekolah-sekolah reyot . Aih, betapa banyaknya orang yang ikut dalam lari marathon kehidupan ini. Apakah mereka akan mendapatkan piala? Tidak. Lantas, mengapa mereka ikut berlari? Karena, mereka ingin mengajari kita tentang hidup. Mengajari kita? Ya. Mengajari kita. Karena kita yang lebih beruntung ini sering sekali menyia-nyiakan hidup. Kita terlampau mudah untuk berkeluh kesah. Ketika kita tahu akan kalah, kita langsung menyerah. "Untuk apa kita bekerja jika dibayar dengan upah murah? Cuma membuat kaya para pengusaha saja!" Begitu kita sering berkilah. "Ngapain susah-susah begitu jika hasilnya cuma segini?" Kemudian kita memilih untuk tidur lagi. "Kalau begini caranya, aku berhenti saja!" Lalu kita keluar dari arena. Malu kita oleh orang-orang sederhana itu.
Padahal, Ayah dan Ibu sudah menyekolahkan kita dengan bersusah payah. Mereka mengumpulkan rupiah, demi rupiah. Dengan terengah-engah. Supaya kita bisa kuliah. Setelah kita lulus sekolah? Kita menjadi orang-orang yang begitu mudahnya untuk menyerah kalah. Setiap kali dihadapkan pada jalan yang menanjak sedikit saja, kita sudah cepat merasa lelah. Ketika tersandung dengan kerikil kecil saja, kita sudah mengeluh seolah kehilangan kaki sebelah. Bukan peristiwanya yang menjadi musibah. Melainkan sikap kita untuk memilih menjadi manusia bermental lemah.
Malu kita oleh orang-orang sederhana itu. Meskipun mungkin mereka tidak sepintar kita. Tidak sekolah setinggi kita. Tidak berkulit semulus kita. Namun, semangat mereka dalam menjalani hidup, bukanlah tandingan bagi kita. Cobalah sesekali tengok garis-garis wajah mereka. Disana kita akan menemukan sebuah gambaran tentang hidup semacam apa yang mereka jalani setiap hari. Tidak lebih mudah dari kita. Sekalipun begitu; mereka enggan untuk berhenti. Mereka terus berlari. Untuk berlomba dalam marathon ini. Perlombaan yang hadiahnya mereka definisikan sendiri. Yaitu; menunaikan panggilan hidup. Dan, apakah sesungguhnya panggilan hidup itu? Untuk menjalani kehidupan itu sendiri. Dengan segenap bekal yang telah Tuhan berikan didalam diri kita masing-masing.
Catatan Kaki:
Hidup tidak selamanya tentang kalah dan menang. Melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dengan tindakan-tindakan yang memberi makna positif.
Source: E-mail dr seorang temang kerja Oma dan tertulis nama penulis dan website-nya: Dadang Kadarusman (http://www.dadangkadarusman.com/ )
Comments