Skip to main content

Lomba Lari Maraton

Salah satu alasan mengapa kita memiliki frase `kalah sebelum bertanding' adalah karena pada kenyataannya begitu banyak orang yang enggan untuk ikut dalam pertandingan menyusuri hidup. Hanya karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah menjadi pemenang. Jika hidup kita adalah soal kalah dan menang, mungkin cara berpikir itu bisa diterapkan. Namun, pada kenyataannya hidup kita tidak selamanya tentang kalah dan menang. Memang, ada kalanya kita harus terlibat dalam permainan seperti itu. Jika kita tidak mengalahkan orang lain, maka orang lain akan mengalahkan kita; dan kita menjadi pecundang.

Namun, sebagian besar kegiatan dalam hidup kita bukan soal itu. Melainkan soal bagaimana kita menjalani hidup itu sendiri. Oleh karena itu, dalam banyak situasi; `menjalani' hidup itu lebih penting daripada hasil akhirnya.

Anda tentu masih ingat sebuah kisah klasik tentang seorang lelaki lugu yang tengah duduk diteras sebuah kedai dipinggir jalan. Ketika mendekatkan cangkir kopi ke bibirnya, dia terperangah, karena tiba-biba saja ada segerombolan orang yang berlarian. Ia lalu bertanya kepada pelayan;"Kenapa sih orang-orang itu pada berlarian begitu?" Sang pelayan menjawab:"Ini perlombaan lari marathon, Tuan." Ia tersenyum dengan ramah, kemudian melanjutkan:"Pemenangnya akan mendapatkan sebuah piala." Katanya. Lalu lelaki itu berkata;"Kalau hanya pemenangnya yang mendapatkan piala, kenapa orang-orang yang lainnya juga pada ikut berlari...?"




Kemungkinan besar, didunia nyata tidak ada manusia yang cukup lugu untuk melakukan dialog seperti itu. Setidak-tidaknya dalam konteks `lomba lari marathon'. Kita semua tahu bahwa pemenang lomba lari marathon hanya satu orang. Atau paling banyak 3 orang. Jika panitia berbaik hati menyediakan hadiah sampai juara harapan ketiga seperti ketika kita sekolah di TK dulu, maka jumlah pemenangnya paling banyak ada 6 orang. Tetapi, kita tidak cukup bodoh untuk mempertanyakan; "Mengapa ratusan orang lainnya ikut berlari juga?"

Tetapi, mari cermati kehidupan sehari-hari kita. Secara tidak langsung kita sering mengajukan pertanyaan naif seperti itu. Kita begitu seringnya bertanya; kenapa orang kecil seperti kita mesti kerja habis-habisan? Paling hasilnya cuma segitu-gitu juga.

Ketika masih disekolah menengah dulu, saya beberapa kali mengikuti 10K Marathon Competition. Dalam perlombaan itu, selalu saja ada atlet profesional dari pelatda yang ikut serta. Tapi, jumlah mereka tidak banyak. Sedangkan, ratusan peserta lainnya adalah mereka yang paling banter hanya berolah raga seminggu sekali saja, termasuk saya dengan tubuh kerempeng dan napas yang pas-pasan ini. Bahkan ada juga peserta yang sudah lanjut usia. Nyaris tidak mungkin kami bisa menang. Kami semua mengetahui hal itu. Tapi, mengapa kami tetap ikut perlombaan itu? "Ya, kenapa Kakek mengikuti perlombaan ini?" Anda boleh bertanya begitu kepada si Kakek veteran perang kemerdekaan yang ngotot mau ikut perlombaan. Dan dia akan menjawab: "Kakek mah, yang penting sehat, cucu. Tidak apa-apa menang juga. Yang penting sehat...." Alah, yang penting sehat, kata si Kakek.

Kalau anda tanyakan itu kepada orang dewasa lainnya, mereka akan menjawab: "Demi kesehatan, Mas. Kita perlu berolah raga. Kalau menang syukur. Tidak juga yah, tidak apa-apalah. Yang penting sehat." Sedangkan, gadis-gadis remaja berusia belasan tahun akan menjawab: "Tau deh, Mas. Pokoknya seru ajjah. Bisa ketemuan sama teman-teman." Dan dari para lelaki kecil yang sedang puber, mungkin anda akan mendengar: "Asyik Mas. Banyak cewek kece yang ikutan...." Pendek kata, ada begitu banyak alasan mengapa orang ikut serta dalam perlombaan lari marathon itu; meskipun mereka tahu tidak akan menang. Dan diakhir pertandingan, kita selalu bisa menemukan senyum kepuasan disetiap wajah yang mengikuti perlombaan. Ketika sang atlet pelatnas naik pentas untuk menerima tabanas; setiap orang ikut merasa puas. Tidak ada iri di hati ini. Sebab, dari awal pun kita sudah tahu bahwa hadiah tabanas dan piala itu bukan untuk kita.

Kita mempunyai bagian masing-masing dalam perlombaan itu. Sang Kakek, mendapatkan kesempatan untuk berolah raga dengan gembira demi kesehatannya. Para pemuda senang dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Para remaja gembira karena bertemu dengan rekan-rekan seusianya. Sambil ngeceng satu sama lain. Dan tampaknya, semua orang mendapatkan kemenangannya masing-masing. Kecuali orang-orang yang memilih tidur dibawah selimut. Dan mereka yang hanya nongkrong dipinggir jalan yang dilewati para pelari.



Lomba lari marathon mungkin sudah bukan olah raga populer lagi dijaman ini. Tetapi, esensinya masih tetap ada hingga kini.

Kehidupan kita, tidak ubahnya seperti perlombaan lari marathon itu. Ada sejumlah hadiah disediakan bagi mereka yang berkoneksi sangat kuat. Bermodal teramat besar. Dan berkedudukan begitu tinggi. Namun, jika saja orang-orang yang tidak memiliki semua keistimewaan itu memilih untuk berhenti sebelum bertanding; kehidupan kita mungkin akan berubah wajah. Menjadi sebuah ironi ketidakberdayaan. Untungnya, sebagian besar manusia sederhana yang kita lihat adalah orang-orang tangguh. Mereka adalah pejuang hebat yang tidak mudah menyerah. Tengoklah mereka yang tidak pernah lelah untuk terus merengkuh hidup. Mengagumkan sekali. Meskipun mereka tahu bahwa tidak mungkin untuk mendapatkan pendapatan sejumlah miliaran atau sekedar ratusan ribu rupiah saja; namun mereka tetap melangkah, ikut terlarut dalam geliat hidup. Mereka tidak hendak berhenti. Sebab, sekalipun tahu bahwa uang besar adalah jatah orang-orang besar, namun ikut terlibat dalam permainan keseharian adalah pilihan yang paling bijaksana.


Jika kita berkesempatan untuk menyasar ke pasar-pasar pada pukul dua pagi, kita akan menemukan orang-orang dari jenis ini. Tukang gorengan. Para penyapu jalan. Para petugas pembersih toilet digedung-gedung perkantoran. Para buruh tani. Ibu-ibu tukang cuci pakaian. Para hansip dan petugas keamanan. Para guru bantu disekolah-sekolah reyot . Aih, betapa banyaknya orang yang ikut dalam lari marathon kehidupan ini. Apakah mereka akan mendapatkan piala? Tidak. Lantas, mengapa mereka ikut berlari? Karena, mereka ingin mengajari kita tentang hidup. Mengajari kita? Ya. Mengajari kita. Karena kita yang lebih beruntung ini sering sekali menyia-nyiakan hidup. Kita terlampau mudah untuk berkeluh kesah. Ketika kita tahu akan kalah, kita langsung menyerah. "Untuk apa kita bekerja jika dibayar dengan upah murah? Cuma membuat kaya para pengusaha saja!" Begitu kita sering berkilah. "Ngapain susah-susah begitu jika hasilnya cuma segini?" Kemudian kita memilih untuk tidur lagi. "Kalau begini caranya, aku berhenti saja!" Lalu kita keluar dari arena. Malu kita oleh orang-orang sederhana itu.

Padahal, Ayah dan Ibu sudah menyekolahkan kita dengan bersusah payah. Mereka mengumpulkan rupiah, demi rupiah. Dengan terengah-engah. Supaya kita bisa kuliah. Setelah kita lulus sekolah? Kita menjadi orang-orang yang begitu mudahnya untuk menyerah kalah. Setiap kali dihadapkan pada jalan yang menanjak sedikit saja, kita sudah cepat merasa lelah. Ketika tersandung dengan kerikil kecil saja, kita sudah mengeluh seolah kehilangan kaki sebelah. Bukan peristiwanya yang menjadi musibah. Melainkan sikap kita untuk memilih menjadi manusia bermental lemah.

Malu kita oleh orang-orang sederhana itu. Meskipun mungkin mereka tidak sepintar kita. Tidak sekolah setinggi kita. Tidak berkulit semulus kita. Namun, semangat mereka dalam menjalani hidup, bukanlah tandingan bagi kita. Cobalah sesekali tengok garis-garis wajah mereka. Disana kita akan menemukan sebuah gambaran tentang hidup semacam apa yang mereka jalani setiap hari. Tidak lebih mudah dari kita. Sekalipun begitu; mereka enggan untuk berhenti. Mereka terus berlari. Untuk berlomba dalam marathon ini. Perlombaan yang hadiahnya mereka definisikan sendiri. Yaitu; menunaikan panggilan hidup. Dan, apakah sesungguhnya panggilan hidup itu? Untuk menjalani kehidupan itu sendiri. Dengan segenap bekal yang telah Tuhan berikan didalam diri kita masing-masing.

Bersediakah kita mendayagunakannya?

Catatan Kaki:
Hidup tidak selamanya tentang kalah dan menang. Melainkan tentang bagaimana kita menjalaninya dengan tindakan-tindakan yang memberi makna positif.

Source: E-mail dr seorang temang kerja Oma dan tertulis nama penulis dan website-nya: Dadang Kadarusman (http://www.dadangkadarusman.com/ )

Comments

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

WSAD? (What Should Ariel Do?)

As a communication expert, we always need to be prepared for crisis communication or disaster management. If a company suffered a bad publication, or when bad things happened, like with BP’s oil spill or Toyota’s cars, the communication people need to work very hard to communicate the right message (while some other people work on to make things right) and to win the public favour again. In theory, companies need to be prepared for crisis way in advance; however not many companies did that. I believe, Ariel had also never thought that such drama would happen, but yeah, here it is, and he has to face it! So, here is my humble opinion regarding what he needs to do to clear the air: Scenario 1: Launch a single/album Celebrities, especially musicians, usually would create a drama or scandal to increase their popularity in order to promote the next movie, single, or album that would be launched. What Ariel could do is to write a song (or an album) as soon as possible and launch it! And thee

Pluralism: My Version

plu`ral-ism (-noun) condition in which minority groups participate in society, yet maintain their distinctions. Today is Chinese New Year. Being Indonesian-Born-Chinese (IBC), my family has always been taking part in this celebration. No, we were not really doing the rituals, but as a child, I always had fun hunting Hung Bao (small amount of money put in an red envelop). Another memory about Chinese New Year is it was the time when my favorite cousines came from Malang. We would play; and they would possibly have sleepover. It was my childhood. However, I cannot recall what happened when I was slightly older. But I still remember that my mom told me to be an Indonesian. She would say "Nia, you are not Chinese. You are Indonesian." Or she would remind me that I have to respect Indonesian people in spite of their attitude toward ethnic Chinese. She said "We have a confusing story. If we would say we are Chinese, we would be kicked out from this country. Thus we would prob