Seperti lukisan yang penuh dengan warna, demikianlah kehidupan. Didalamnya ada sukacita, kegembiraan, dan kebahagiaan. Ya memang, perjalanan hidup memang begitu indah dan menarik. Akan tetapi didalam keindahan dan kemenarikan tersebut didalamnya banyak terdapat, duri yang terkadang menusuk, lembah yang penuh dengan air mata, dan kerikil-kerikil tajam yang dapat menggelincirkan. Justru didalam perpaduan warna cerah dan warna gelap itulah yang membuat hidup ini menjadi lebih dari sekedar rutinitas biasa.
Pengalaman berada didalam lembah, membuat banyak orang belajar bergantung kepada Allah, Sang Pengatur cerita. Tidak ketinggalan pula, pengalaman berada didalam puncak kehidupan, membuat juga banyak orang untuk mengakui kedaulatan Allah atas hidupnya dan atas hidup banyak orang lainnya. Tetapi terkadang kehidupan sampai pada proses yang menjemuhkan. Jalan yang datar, tidak menurun, bukan tanjakan, dan hanya lurus tanpa berliku-liku. Terkadang ketika saya berpergian dan melewati suatu yang jalan yang tampak tanpa halangan dan tidak berbelok-belok maka keputusan yang saya ambil ialah mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, walaupun saya tahu bahwa sering terjadi kecelakaan di daerah tersebut. Kecelakaan lalu lintas memang sering terjadi dalam area seperti itu. Seperti itulah kehidupan. Ketika waktu berjalan didalam kerutinitasan dan dalam liturgi yang sama, banyak orang mulai jenuh dan terkadang tidak waspada akan hidupnya. Banyak orang jatuh justru di saat-saat segala sesuatunya tampak aman, tetapi sebenarnya berbahaya.
Begitu halusnya kejatuhan tersebut, sehingga membuat kita sering menyangka bahwa kita sedang tidak jatuh. Penurunan standard hidup, pergeseran penerimaan diri, kompromi kecil terhadap dosa, terkaburnya tujuan hidup dan mulai hilangnya kepekaan untuk tahu kehendak Raja, merupakan kejatuhan yang tidak terlalu kelihatan melainkan berlangsung secara lambat tetapi pasti. Seperti ulat dalam buah apel, demikianlah itu akan terus menggerogoti secara perlahan kebatinan kita sampai kering, kecuali kita datang kepada Sang Penjunan dan membereskannya berdua, didalam kehangatan Tangan-Nya.
Apakah Sang Sutradara Agung itu menghendaki adanya suatu adegan yang membosankan? Saya kurang tahu. Yang saya tahu ialah bahwa Ia mengaruniakan kemampuan untuk menikmati kesenangan. Didalam bukunya, The Purpose Driven Life, Rick Warren menulis bahwa Allah ingin agar kita menikmati kehidupan, bukan saja menjalaninya. Tetapi terkadang kita sulit hidup dalam kehendak Dia. Study, pekerjaan, pelayanan, relasi dengan sesama, bahkan sampai pada waktu pribadi dengan Allah sekalipun, bukanlah menjadi suatu hal yang bisa lagi kita nikmati. Segala sesuatunya sudah menjadi rutinitas yang melelahkan dan tidak menggairahkan lagi.
Bagian yang penting untuk kita segarkan terus didalam menapaki hidup ialah kembali mengingat kepada titik awal pemberangkatan. Pertanyaan mengapa perahu kehidupan kita diijinkan berlabuh, menjadi suatu pertanyaan dasar yang akan terus menolong untuk dapat kembali menikmati hidup. Hidup ini dicipta secara unik oleh Pribadi yang juga punya tujuan khusus atas buatan Tangan-Nya. Disitulah terkandung makna kehidupan yang sesungguhnya. Jika hidup ini bermakna maka segala sesuatunya tidak akan hambar dan tidak menjemuhkan, karena bagian terkecil sekalipun dalam hidup ini menjadi berarti. Bagian kita ialah tunduk dan menyerahkan hak kemudi pada Tujuan Allah atas hidup ini sebagai pengatur keseluruhan perjalanan langkah kita dibumi.
Didalam doanya, Kristus berkata bahwa Ia telah mempermuliakan Bapa-Nya dibumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang telah diberikan kepada-Nya untuk Ia lakukan. KetundukanNya pada rencana Bapa membuat Ia menjadi lemah dimata dunia. Bayangkan, ciptaan hendak membunuh Penciptanya. Kristus sudah tidak punya lagi hidup bagi diriNya. Tidak ada lagi kepentingan diri, semua untuk kepentingan Bapa. Pertanyaannya, apakah kepentingan hidup pribadi kita masih jauh lebih besar daripada kepentingan Dia, yang sudah memberikan hidupNya bagi kita?
Kehidupan Kristus tidaklah dikendalikan atas keinginan orang-orang disekitarnya. Dia berjalan melayani banyak orang didalam tuntunan Bapa, sehingga penerimaan Bapa atas hidupNya menjadi jauh lebih penting daripada penerimaan lingkungan. Demikianlah bila kita dikendalikan oleh pendapat orang lain, maka tujuan-tujuan Allah atas hidup kita akan tertutupi. Dikendalikan oleh Kristus, akan menolong kita menyadari dan berkata,”Penerimaan Tuhanku, itu jauh lebih berharga dari semua penerimaan orang lain dalam hidupku”.
Kristus mampu mengerti dan menyelesaikan pekerjaanNya karena hubunganNya yang erat dengan BapaNya. Mar. 1 : 35-39 dengan jelas mengungkapkan bagian tersebut. Persekutuan yang erat dengan Sang Pengutus, seharusnya juga menjadi bagian yang sama, yang harus diperjuangkan setiap orang yang rindu memberikan yang terbaik bagiNya. Yang penting bukan masalah mencari waktu yang kosong untuk dapat bersekutu denganNya, melainkan masalah keinginan menyediakan waktu untuk Dia, Sang Pemilik keseluruhan waktu kita. Tanpa keintiman dengan Allah, kehidupan tampak seperti anak panah yang dilepaskan tanpa arah. Yang ada hanya kelelahan. Berapa sering kita mendapati bahwa kita melakukan banyak aktifitas, bahkan aktifitas yang tampak rohani sekalipun, akan tetapi serasa kosong dan tampak tidak berguna. Dan yang sering kita lakukan kemudian ialah mencari dimana sebenarnya letak kesalahannya, apakah pengaturan waktu atau strategi yang harus diubah. Kita kelupaan untuk memperbaiki satu bagian yang penting dalam keseluruhan dimensi kehidupan kita, persekutuan yang mesra dengan Sang Kekasih hati.
Glory to God in the highest
Salam
(Dibuat khusus sebagai hadiah bagi sahabatku yang berulang tahun ke-21 pada tanggal 07 desember 2005.
Met ultah my Sis’
“Mungkin kau hanya sebuah mata rantai yang rapuh dari seluruh kalung rantai rencana Allah yang besar, namun kau tetap berharga dan berarti bagi Allah“ (mian edi D.S)
Tetap Berdoa!!!............................................................................................................ )
Comments