Skip to main content

Kursi Tua


11-11-2006

Aku ingin duduk di sana. Menikmati tiap detik tawamu.

Ingin aku duduk lama di kursi tuamu, duduk sangat lama.
Ingin kupandangi satu-satu poster-poster selebriti sepak bola yang mengihiasi dinding kamarmu, yang seakan ingin menguasai dinding kamarmu, tidak mengijinkan secercah warna putih muncul di sela-selanya. Mereka lambang kejayaanmu. Di saat engkau masih rela membiarkan kulitmu terbakar teriknya matahari jam dua belas siang. Di saat engkau masih melihat wanita tidak lain adalah penjajah, yang membuat hidupmu menjadi 20 jam sehari, atau kurang. Di saat engkau mungkin tidak pernah melihat dimana aku duduk.

Ingin aku berputar-putar di atas kursi tuamu, yang biasa kau pakai untuk menemanimu membunuh malam tanpaku. Malam dimana kau tekan 14 digit nomor dan menanti nada yang menyambungkan dengan separuh jiwamu, separuh nafasmu. Malam dimana engkau berharap bahwa esok adalah akhir dari empat tahun penantianmu. Ah, sayang sekali, besok pun belum bisa menggenapi hitungan satu tahun. Kau pun bertanya, dimana bisa kubeli sisa waktu itu?

Ingin aku melihat tempat tidurmu, kasur dimana engkau membaringkan kepalamu di saat kursi tuamu sudah berderit, tanda tak mampu lagi menahan beban. Di kasur itukah kau tertawa lebar memimpikanku? Di kasur itukah kau merasakan keputusasaan dan kesedihan saat semuanya menjadi suram? Di sana kah kau merasakan hatimu menangis walaupun matamu terlalu sombong untuk menitikkan airnya? Iya, aku ingin duduk saja di kursi itu, berayun-ayun memandang engkau terdiam, entah tertidur atau duduk, di kasur itu.

Ingin pun aku merasakan dinginnya keramik lantai kamarmu. Sedingin itukah perasaannya padaku, begitu batinmu dulu. Tapi aku kembali, sayang. Kembali aku, meminta ijin untuk memasuki kembali hatimu, yang ternyata tak pernah kau ijinkan untuk tertutup. Sedingin itukah cuaca di sana, tanyamu lagi dalam hati. Semoga salju terus turun supaya dia ingin pulang merasakan kehangatan, harapmu.

Iya, aku masih ingin duduk di sana. Ingin kurasakan hembusan angin dari kotak putih di atas kasurmu. Itukah helaan nafasmu saat berulang kuhunus dadamu dengan kekesalan yang sama? Aku menitikkan air matamu. Kurasakan pedihmu. Ingin aku berjalan menghampirimu, namun masih kurasa nyaman kursi tuamu ini. Putar, putar, kursimu ini memang sudah tua.

Aku ingin duduk diam di kursi itu. Sekarang aku kembali, tapi tak lama. Ingin aku berdebat dengan waktu, memohonnya untuk diam. Ingin benar kupinjam momen itu. Momen dua mata memandang, dua tangan menggenggam dan keheningan. Ingin benar kuabadikan momen ini.

Aku ingin menjadi kursi itu. Bodohnya aku, sedari tadi harusnya kuakui jika aku cemburu. Aku cemburu pada kursi tuamu. Kau biarkan dia menemanimu bertahun-tahun. Kau biarkan dia memandangmu begitu dalam. Kau biarkan dia mengenal seorang engkau yang sebenarnya. Kau biarkan dia tahu makanan yang kau benci dan kado ulang tahun yang kau harapkan. Kau ijinkan dia bergembira bersama tawamu, dan menjadi air mata untuk kesedihanmu. Aku cemburu, sayang.

Sayang, aku ingin menjadi kursi tuamu. Aku ingin ada ketika engkau membuka mata. Aku ingin mata kita beradu, membiarkannya berkata ‘aku sayang kamu’. Aku ingin di sampingmu untuk menjadi yang pertama mengucap ‘selamat pagi’, walau aroma yang kusimpan 8 jam dalam mulutku ikut keluar. Ah, aku tak malu! Aku ingin menjadi kursi tuamu, yang kau ijinkan menatapmu, mengerti dirimu, dan menjadi bagian dari hidupmu sampai aku tua. Sampai aku tua? Ah tidak, aku percaya engkau akan membiarkanku menyayangimu lebih lama, karena kursi tuamu itu pun tak tergantikan.

Comments

nez said…
Nie...

bagus nie...
asli apik rek..

"kursi tua yg selalu menemanimu" ini maksudnya metafor buat "standing still beside you forever"? ...atau?

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

Cold Feet

One of my closest friends is getting married tomorrow another one in May another one in November. and an ex-classmate is also getting married in April/May. and, I dreamed about getting married last night. I remember some months ago I was so enthusiastic with the idea of getting married. Although I knew that our relationship was not yet ready for that stage, I was so pushy to Stefy. I had asked him when exactly we would get married. Ah well, it was all the flashy things that I longed for. Right now, what I want is to avoid it! I am just not brave enough to throw myself into this new status. Don't get me wrong, I am probably just like any other girls out there who like the beautiful wedding gown, like to be made up, like to be the queen of the night. But, have you ever considered what would happen after you wave off the guests and head to your own home, starting your new chapter of life? or what would happen after the happy chappy honeymoon? Would we then live

WSAD? (What Should Ariel Do?)

As a communication expert, we always need to be prepared for crisis communication or disaster management. If a company suffered a bad publication, or when bad things happened, like with BP’s oil spill or Toyota’s cars, the communication people need to work very hard to communicate the right message (while some other people work on to make things right) and to win the public favour again. In theory, companies need to be prepared for crisis way in advance; however not many companies did that. I believe, Ariel had also never thought that such drama would happen, but yeah, here it is, and he has to face it! So, here is my humble opinion regarding what he needs to do to clear the air: Scenario 1: Launch a single/album Celebrities, especially musicians, usually would create a drama or scandal to increase their popularity in order to promote the next movie, single, or album that would be launched. What Ariel could do is to write a song (or an album) as soon as possible and launch it! And thee