Skip to main content

My first published CERPEN

Kopi Hitam

Aku sudah berhenti minum kopi. Hari ini adalah hari yang ke empat puluh tiga aku tidak minum kopi. Sepertinya ini adalah suatu kemajuan. Aku menjadi sangat takut untuk meminum kopi. Mencium bau aroma pahit dan sedap biji kopi pun aku tak sanggup. Lebih baik aku lari, atau menutup pintu kamarku rapat-rapat.

Aku ingat beberapa minggu silam, ketika aku mencengkram dadaku dan terduduk di kursi biru dekat meja belajarku. Aku sesak nafas. Bukan karena Galih. Aku kebanyakan minum kopi. Sebenarnya, Galih memang mempunyai sedikit peran dalam membuatku sesak nafas. Sudah cukup lama, untuk ukuran kami, kami tidak berkomunikasi. Hal itulah yang membuatku ingin berpuasa, hanya puasa tidak makan, dan yang pada akhirnya membuat aku sesak nafas.

Pada saat itu, aku memang pecandu berat kopi. Aku tidak bisa disebut ‘sudah bangun pagi’ kalo belum meminum seteguk kopi pahit, officially cukup seteguk, tapi nampaknya itu jarang sekali terjadi. Biasanya aku paling sedikit meminum secangkir kopi tubruk atau kalau pagi itu aku cukup rajin, aku akan menyalakan coffee machine dan membiarkan Brazilian coffee mengisi dua atau tiga mug kebanggaanku, mug putih, tinggi bertuliskan ‘BIG’. Seperti pagi itu, aku terlamat bangun dan semangkuk oatmeal yang biasa kucampur dengan susu terpaksa kutangguhkan, dan kuganti dengan setermos kopi pahit panas yang kubawa dalam tasku. Akhirnya pagi itu kupaksa perutku menerima kopi pahit sebagai pengganti sarapan.

Galih. Belum bosan aku menyebut dia dalam setiap doaku. Kembali ke masalah kopi. Puasa yang kulakukan, dalam mengiringi doa-doaku yang kupanjatkan kepada Allah, dengan nama Galih terucap di setiap baitnya, membuat aku meneguk kopi demi kopi. Bukan untuk pelarian, ataupun pelipur lara, tapi memang pada saat itu aku bodoh. Sering memang kubuat kopi sebagai pelarian akan rasa laparku. Malam-malam, ketika aku harus mengetik makalah yang harus dikumpulkan jam sembilan tepat keesokan harinya di ruangan dosen, membuat aku menyalakan coffee machine dan menuangkan lima sampai enam sendok ukuran, kopi espresso ke dalamnya. Pada saat aku berpuasa, untuk Galih, aku memilih untuk tidak makan, tapi tetap minum kopi, dan air putih tentunya.

Bodohnya aku.
Saat aku mencengkram dadaku dan keringat mulai membasahi peluh dan telapak tanganku, aku mulai menyesal. Aroma cappuccino yang baru saja kuseduh membuatku mual dan berjanji, “Ya Allah, aku akan berhenti minum kopi. Jangan sekarang, ya Allah.” Allah memang Maha pengasih dan Ia mendengar semua jeritan umatNya. Aku masih hidup.

Selamat tinggal, kopi.

***

“Lg apa? R u okay?
SMS singkat itu kubaca berulang-ulang. Aku tidak mengerti apakah memang aku yang bodoh atau akan datang bulan. SMS ini membuat aku tidak tidur semalaman. Aku merasa si pengirim sedang menaruh hati padaku, atau mungkin belum menaruh hati, tapi hanya tertarik padaku. Ah, apakah aku GR? Belum kukenal pria ini.

Cepat-cepat kubuka buku Agenda 2006 yang ada di dalam tasku. Di saat teman-temanku sudah mulai memiliki PDA, atau paling tidak menggunakan fitur Agenda di handphone mereka, aku tetap setia pada buku agenda kuno yang bentuknya selalu sama. Dan selalu warna hitam.

6 September. Belum sebulan yang lalu aku bertemu dengan Viko. Pertemuan kami pun sangat simple dan tidak terduga. Percakapan kami hanya berkisar sepuluh sampai lima belas menit, itupun masih plus interupsi dari teman-teman, dan Galih. Tidak pernah aku berpikir akan mendapat SMS darinya. Mendapat satu kiriman SMS darinya pun tak pernah aku bermimpi, apalagi puluhan SMS demi SMS yang akhir-akhir ini menggantikan waktu baca bukuku.

“Oh, kamu toh yang namanya Wil! Saya kira cowok.“ Itulah kata-kata yang paling kuingat dari seorang Viko. Viko pun tahu pasti status Galih sebagai pacarku. “Cowokku juga suka sepak bola. Kalian mungkin bisa tanding gitu deh!” Aku pun berusaha mempromosikan Galih sebagai cowokku.

Aku tidak mengerti. Aku bodoh.

Km marah? Lagi ngapain?

Satu SMS lagi. Kalau tidak salah, hari ini aku sudah menerima sepuluh SMS, dan semuanya dari Viko.

Aku tidak mau membalas SMS Viko lagi, cukup sudah, Wil! Hatiku masih bergejolak. Telapak tanganku pun masih basah karena dari tadi aku meremat-remat handphone-ku. Tidak, Wil, kamu tidak seharusnya berhubungan seperti ini dengan Viko.

“Wil, ngopi! Gue pesenin nih yang Big Size en kali ini gue inget, just black! Bener gak?!” Mas Bagus, manager logistic yang wong jowo asli, nampaknya lupa mengetuk pintu kamar kerjaku. Dia langsung nyelonong dan menyodorkan segelas besar kopi. Mas Bagus hobi minum kopi, seperti aku dulu. Dia bekerja di lantai 8, dan aku di lantai 3. Kadang, kalau kebetulan Mas Bagus pas lewat, dia akan membawakan atau sekedar menawarkan secangkir kopi. Namun, Mas Bagus sudah bertobat. Mas Bagus ini sudah terhasut oleh tulisan di majalah kesehatan mengenai efek kopi. Di majalah itu, yang menurutku lebih mirip catalog iklan, ditulis kalau pria yang mengkonsumsi caffeine secara berlebihan, kemungkinan infertility-nya lebih tinggi. So, nggak beda jauh sama merokok. “Awas merokok mengakibatkan impotensi.” Jadi, Mas Bagus sudah bertobat dari kebiasaan mengopi lima waktu, sekarang paling cuma dua kali.

Mas, saya sudah ngga minum kopi. Sudah jalan dua minggu.” Mas Bagus terdiam. Sepertinya dia tidak percaya. “Wil, kamu sakit?” Benar dugaanku, Mas Bagus bingung. “Ndak, mas, saya cuma mau berhenti saja. Takut mandul, mas!” Aku mencoba bercanda. Mas Bagus malah menarik kursi dan duduk, “Dik, kamu ada masalah ya?”

Kutatap kepulan asap dari gelas Styrofoam berisi kopi yang dibawa Mas Bagus. Pandanganku tak berkutik. Aku menghirup dalam-dalam aroma kopi yang dibeli Mas Bagus di Filosofi Kopi yang jaraknya tidak jauh dari kantorku. Ben’s Perfecto. Harum biji kopi yang memberikan aroma pahit mulai memenuhi rongga hidungku. Aku memejamkan mataku. Menarik nafas lebih dalam lagi. “Mas, apakah kopi ini masih boleh aku minum?“

Aku kalah. Perjuanganku selama tiga minggu sia-sia sudah.

Aku meneguk Ben’s perfecto dalam-dalam, dan beberapa detik kemudian handphone-ku bersuara. Another SMS.

***

“Aku ingin bertemu dia. Aku tidak mengenal dia.“
“Aku tidak ingin menciptakan Viko jadi-jadian, yang hanya exist di dunia fantasiku. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, jadi ketika aku memutuskan untuk membuang namanya jauh-jauh dari hidupku, aku melakukan itu karena aku mau bukan karena aku harus.“

Lida terpaksa harus mendengar segala keluh kesahku. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku serba salah. Ketika aku menjauhi Viko, hatiku berontak. Hatiku seakan berkata, “jangan bohongi aku. Kau menikmati SMS Viko, kan?” Tapi ketika aku membalas SMS Viko, bahkan kadang aku menerima telponnya, aku pun menangis, “Ya Allah, apakah aku selingkuh?” Aku merasa bersalah pada Galih.

Aku menuangkan decaffeinated coffee instant ke dalam mug putihku. Aku berusaha ‘menebus dosa’ dengan hanya meminum decaf coffee, yang instant pula! As if it helps. Sebenarnya decaf or non-decaf tidak ada bedanya, hanya kandungan caffeine di decaf coffee lebih kecil. Decaf coffee adalah sebuah kepalsuan. Menurutku, decaf coffee adalah secangkir minuman berwarna hitam dengan rasa kopi yang tidak jelas, atau aku biasa bilang, rasa palsu. Minum decaf coffee sama halnya dengan minum jus durian yang harganya cuma Rp. 5.000,- Ke dalam jus durian itu, dicampurkan, minimal, setengah gelas sirup durian, air, dan es batu.

Dan sebenarnya aku menentang keberadaan kopi instant. Kopi instant itu kebohongan. Tidak ada namanya kopi instant. Pembuatan kopi itu membutuhkan proses yang lama untuk menghasilkan kebohongan: rasa pahit jadi-jadian dan wangi kopi buatan. Kopi instant itu pemaksaan; memaksa sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Akhirnya rasanya pun terkesan seadaanya, atau maksa! Tapi, yah, apa boleh buat, aku sebenarnya sempat berikrar untuk tidak minum kopi lagi. Kali ini aku benar-benar butuh kopi. Sebenarnya, ada sih, keuntungan mengkonsumsi kopi instan, yaitu kita dapat mengatur tingkat “kekerasan” kopi yang kita mau. Selain itu, kopi instant membantuku untuk tidak kembali kecanduan kopi dan aku pun tidak perlu mengeluarkan coffee machine-ku dari gudang.

Wil, kamu jangan naïf. Ketika kamu bertemu dengan Viko, lagi, aku yakin kamu akan menikmati pertemuan itu. Dan kamu akan memintanya lagi, lagi dan lagi. Kamu akan kecanduan. Galih, dia pria baik-baik. Walaupun dia tidak tahu menahu mengenai hubunganmu dengan Viko, aku yakin Galih merasakannya. Apakah kamu tidak sadar, bahwa masalah yang kamu alami dengan Galih saat ini adalah bukti bahwa Galih pun merasakan pahitnya hubungan kalian. Bukan hanya kamu, Wil! Galih juga merasakan kebimbangan itu.

Lida benar. Ketika Galih mengatakan bahwa dia merasa tidak yakin akan hubungan kami dan ingin introspeksi diri, pada saat itu pula aku mulai menikmati cinta Viko. Galih lah yang biasanya menanyakan keadaanku, menemani ku dengan suaranya, atau paling tidak SMS-SMS romantisnya, sebelum aku tidur. Namun, sudah beberapa minggu ini Viko yang hampir tidak pernah absen mengirimkan SMS. Walaupun aku sudah memarahi dia untuk tidak mengirimkan SMS cinta padaku lagi, dia nekad; dan aku pun luluh.

Wil, kamu sudah bukan remaja belasan lagi. Masa depanmu itu bukan hari esok, tapi hari ini, detik ini yang kamu jalani. Inilah hari esokmu. Sekarang kamu coba berpikir, bisakah kamu melihat hari esok dengan berjalan bersama Viko? Atau malah dengan Galih? Bisakah kamu melihat Viko sebagai pria yang kamu lihat setiap hari saat kamu membuka mata? Bisakah mau melihat Viko sebagai ayah bagi anak-anakmu? Bisakah kamu melihat Viko menyayangi kamu? Ataukah gambaran itu kamu lihat pada sosok Galih?

***

Lida, ya? Masuk,...masuk!
Aku mengintip dari jendela depan. Lida memang tidak berencana mampir ke rumah hari ini. Namun, Lida kebetulan belanja di Mal Cempaka Mas, jadi sekalian dia mampir.

Sorry, bos, di rumah lagi kacau. Aku nggak tau kalau kamu mau datang. Mau minum?“ Lida langsung berjalan menuju ke dapur. Lida memang tahu rumah ini dengan sangat baik. Biasanya dia memang selalu self-service.

Wil, kamu sehat, kan?

Lida terdiam menatap dos-dos kopi yang masih baru, mulai Brazilian coffee, Kopi tubruk, Douwe & Egbert Kopi dari Belanda, Kopi Sumatera, dan Kopi Tiwus-nya Filosofi Kopi. Plastik-plastik belanja masih berserakan di lantai. Hal yang membuat Lida lebih terkejut adalah munculnya coffee machine yang baru di dapur Wilhemina. Warna hitam.
Aku tersenyum dan memeluk Lida. Thanks, Lida!


p.s. Big thanks to Filosofi Kopi – nya mbak Dee yang menginspirasi saya untuk menuntaskan cerita ini. Trus buat teman-teman yang berpartisipasi dalam memberikan saya saran, doa, pujian dan hinaan. Thanks, I am over it now.

Comments

Unknown said…
wow.. a strong story Nie!
cool2
Oma Nia said…
heuhueheu :D semoga bagus deh! ini saya mau post lagi. Phien!! ga ada comment dr mu??
Oma Nia said…
wekekek,.. i just realized you posted a comment on this post. Iya,.. akhirnya dia balik ke cinta lamanya dia. jadi kembali kecanduan kopi, tp balik ama Galih. the morale is you cannot always get what you want. nothing is perfect. jadi kalo dia kecanduan (which is bad), tp dia bersama dengan org yang cocok. kalo dia sembuh dr kecanduan kopinya (which probably why she was not herself), which is good, but dia bersama dgn orang yg salah

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho...

The unexpected wedding

Almost every girl has ever dreamt of her wedding day – what she would wear, who would come, who the prince charming is. I would say, every girl must have a certain expectation and standard when it comes to a wedding: it could be grand, small celebration, family only, destination wedding – you name it. My dream wedding happens to me a small, close friends and family only wedding. If you grew up in the 90s, you would know a boy band called 98 degree. They had a song titled ‘I do’. If you search on YouTube, you will find the video clip, which shows a beautiful wedding ceremony. That’s my dream wedding! My whole life, I was picturing that. Twelve years ago, I started dating this guy, who is now my husband. His family background is very different than mine. Among other things – which we thankfully have tolerated and worked on – the way to throw a wedding party is totally different. His dream wedding party is ‘tell the world I am getting married’-kind of party. Yes, he wanted grand...

Cold Feet

One of my closest friends is getting married tomorrow another one in May another one in November. and an ex-classmate is also getting married in April/May. and, I dreamed about getting married last night. I remember some months ago I was so enthusiastic with the idea of getting married. Although I knew that our relationship was not yet ready for that stage, I was so pushy to Stefy. I had asked him when exactly we would get married. Ah well, it was all the flashy things that I longed for. Right now, what I want is to avoid it! I am just not brave enough to throw myself into this new status. Don't get me wrong, I am probably just like any other girls out there who like the beautiful wedding gown, like to be made up, like to be the queen of the night. But, have you ever considered what would happen after you wave off the guests and head to your own home, starting your new chapter of life? or what would happen after the happy chappy honeymoon? Would we then live...