Sudah lama saya ‘mati suri’ dalam dunia menulis. Bagi penggemar setia blog saya, dulu mulai SMA, kuliah, dan waktu masih kerja di Indonesia, pasti rajin memaja blog Free Prayer atau Cerita Si Oma. Mulai dari curhatan anak SMA tentang cinta, persahabatan, sampai merambah dunia politik, ekonomi dan masalah-masalah sosial dan agama.
Dulu saya rajin menulis. Setiap kejadian, setiap perasaan, pasti ingin dituangkan dalam sebuah tulisan. Suami saya dulu juga sering dapat kiriman-kiriman puisi dari saya. Beberapa saat lalu dia tiba-tiba nyeletuk “kamu kok sudah ngga pernah nulis puisi lagi?”
Hari ini, di hari terakhir liburan Lebaran di Indonesia, saya berhasil duduk (baca: ndlosor) di belakang laptop dan menulis. Bukan menulis report buat kantor, buat kejar deadline translate paper, tapi hanya menulis, seperti dulu lagi.
Salah satu motivasi terbesar saya untuk menulis lagi adalah Bung Ega dan Nulis Buku, yang tidak bosan-bosannya menanyakan kapan buku saya diselesaikan. Well, first thing first :) Ega lagi mengajak teman-teman untuk menulis random setiap hari, sampai akhir Agustus 2013. Dengan harapan kebiasaan menulis ini menjadi sebuah kebiasaan yang sama seperti kita terbiasa minum kopi di pagi hari atau membaca surat kabar sambil menikmati makan pagi. I hope so, too.
Hari ini saya ingin menulis tentang mimpi. Semua orang pasti punya mimpi. Baik itu mimpi yang tidak masuk di akal, seperti mimpi makan malam bersama George Clooney. Ataupun mimpi yang bisa direalisasikan, memiliki usaha sebuah restoran jepang atau membantu anak-anak yang putus sekolah.
Pernahkah kita sadar bahwa sebuah mimpi itu kadang harus mengalami proses review dan revisi? Terkadang kita begitu fokus untuk mengejar mimpi besar kita, tanpa kita sadar bahwa ada berbagai halangan untuk mewujudkan mimpi itu. Kita anggap halangan-halangan itu sebagai sebuah rintangan yang tidak berarti, yang bisa kita lewati dengan mudah untuk menggapai mimpi itu. Kita menghiraukan orang-orang di sekitar kita yang berusaha mengatakan bahwa mimpi kita mungkin tidak sepenuhnya ‘masuk akal’.
Siapa sih yang berhak menghakimi apakah mimpi kita masuk akal atau tidak? Saya berpikir, bermimpi untuk makan malam berdua dengan seorang George Clooney, jelas tidak masuk akal! Tapi menjadi CEO sebuah perusahaan multinational, apakah hal ini lebih masuk akal? Atau juga tidak masuk akal?
Ada seorang teman saya, yang pernah bertemu langsung dan melayani George Clooney di restaurant tempat dia bekerja. Sekalipun dia tidak pernah bermimpi untuk bertemu George Clooney, but there he was! Beberapa CEO perusahaan terkenal seperti Tony Fernandes atau the late Steve Jobs, mereka pun tidak pernah membayangkan akan menjadi pemimpin giant companies yang sukses seperti AirAsia atau Apple.
Jadi kapan mimpi kita bisa dibilang ‘masuk akal’ dan kapan mimpi kita menjadi ‘tidak masuk akal’?
Saya tidak punya jawaban untuk itu. Yang saya tahu adalah mimpi itu bukan harga mati. Kita harus menerima bahwa ada impian kita yang tidak bisa menjadi kenyataan. Halangan demi halangan, teman-teman dan saudara yang member peringatan, bisa jadi adalah cara kita diberitahu untuk mereview mimpi kita dan mengkaji ulang.
Mama saya pernah bilang, kalau Tuhan berkenan, Dia pasti akan membuka semua pintu. Jika tidak, semua pintu akan tertutup. Or there is also a saying ‘when God closes a door, he opens a window’. Jika 1 mimpi kita sepertinya menjadi ‘tidak masuk akal’, jangan kuatir, ada mimpi lain yang menunggu.
Dan satu hal yang paling penting, di tengah usaha dan jerih payah kita untuk mewujudkan sebuah mimpi, jangan sampai kita melewatkan kesempatan-kesempatan emas yang ada di sekitar kita, hanya karena kita merasa bahwa hal-hal itu bukanlah bagian dari mimpi kita.
Keep on dreaming, but do that with the right mind.
Comments