Skip to main content

Transition: Meet the Parents



In life, change is inevitable.

Kadang perubahan itu adalah sesuatu yang baik, tapi kadang kita berubah menjadi lebih negatif. Namun baik buruknya sebuah perubahan, itu sangat tergantung standard apa yang digunakan.

Perantauan saya ke negeri kincir angin membawa banyak sekali perubahan. Dalam hal kedisiplinan, pola pikir, makanan, gaya hidup, dan masih banyak lagi. Kadang perubahan ini bisa dinilai oleh 'orang timur' seperti Indonesia, sebagai suatu hal yang buruk.

Contohnya beberapa tahun lalu, setelah beberapa tahun tidak pulang kampung, saya pulang ke Indonesia. Hari Minggu, saya ikut ke gereja bersama kedua orang tua saya.

Selama di Belanda, saya ke sebuah gereja presbyterian yang open pada semua jenis kalangan dari latar belakang apapun. Sangat santai. Bahkan di musim panas, pendetanya pun akan berkhotbah dengan menggunakan polo shirt, celana pendek, dan sandal jepit. Worship leadernya bertato dan rambutnya gondrong!

So, kira-kira bisa bayangin kan, waktu saya di Indonesia lagi, diajak ke gereja di hari minggu pagi yang panas, saya pakai baju apa? Kalau Anda menebak saya pakai kaos tanpa lengan, celana pendek dan sandal jepit, yak, tebakan Anda benar!!

Of course mama saya freaked out, kaget anaknya berpakaian sangat minim dan sangat tidak sopan untuk ke gereja. Fyi, di Surabaya, gereja keluarga saya adalah gereja yang cenderung lebih formal.

Perubahan yang lain adalah kebebasan. Selama di Belanda, saya tinggal di sebuah apartemen dengan teman-teman dari Indonesia. Kalau saya mau pulang malam, atau bahkan tidak pulang pun, tidak akan ada yang nanyain. Paling-paling housemate saya kalo lagi iseng akan tanya, itupun kalau dia lagi di rumah.

Bayangkan kalau harus tinggal kembali bersama orang tua. Ada kejadian lucu lagi di tahun yang sama ketika saya pakai baju super santai ke gereja. Waktu itu saya masih pacaran sama Stefy, tapi sudah umur 21 gitu deh. Saya pergi ke mall, dan jam 10 malam, ada telpon masuk ke HP:

Mama: Kamu dimana?
Nia: Di mall.
Mama: Lho, kok belum pulang? Sama siapa?
Nia: *shock*
Mama: Sama siapa kamu? Dan jam berapa rencana pulang? Ini sudah malam lho!!
Nia: *shock sampai ngga bisa ngomomg*

Untung mama saya gaul, saya akhirnya bilang sama mama saya, kalau saya ini bukan anak SMA lagi. Mama sudah 'rela' dan percaya melepaskan saya di luar negeri selama 4 tahun. Masak pergi ke mall di Surabaya dan jam 10 malam belum pulang sudah ditanyain?

Menurut saya, the biggest shock buat kita yang pulang balik ke negeri sendiri setelah merantau adalah kehadiran orang tua dalam kehidupan kita.

Memang ada enaknya, ada yang masakin, ada yang bayarin (ngga perlu makan doner kebab tiap hari kalau lagi ngga punya duit!), ada yang care sama kita. Tapi ada juga sisi yang kurang enak. Kita mungkin akan merasa lebih dikontrol, kita merasa tidak bebas, dan adanya aturan-aturan rumah yang harus kita taati lagi.

Satu hal yang saya pelajari dari hal ini. Bukan hanya kita yang tidak biasa dengan kehadiran orang tua. Orang tua pun pasti merasa tidak biasa anaknya muncul lagi.

Kadang orang tua kita lupa bahwa kita sudah beberapa tahun pergi dari rumah. Ketika kita kembali, mereka memperlakukan kita dengan tetap memakai standard yang sama. Saya pergi ke Belanda waktu lulus SMA, empat tahun kemudian, saya kembali ke rumah, dan orang tua saya memperlakukan saya dengan cara yang sama seperti waktu saya masih SMA.

Jadi be kind to your parents ya.
Kalau emang udah ngga tahan tinggal di rumah bareng orang tua lagi, buruan nikah dan tinggal di rumah sendiri! HAHA. Eh tapi saya nikah beneran karena cinta kok, bukan karena pengen keluar dari rumah :)

Bagaimana dengan teman-teman perantauan yang sekarang kembali ke Indonesia? Any similarities?

Comments

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

WSAD? (What Should Ariel Do?)

As a communication expert, we always need to be prepared for crisis communication or disaster management. If a company suffered a bad publication, or when bad things happened, like with BP’s oil spill or Toyota’s cars, the communication people need to work very hard to communicate the right message (while some other people work on to make things right) and to win the public favour again. In theory, companies need to be prepared for crisis way in advance; however not many companies did that. I believe, Ariel had also never thought that such drama would happen, but yeah, here it is, and he has to face it! So, here is my humble opinion regarding what he needs to do to clear the air: Scenario 1: Launch a single/album Celebrities, especially musicians, usually would create a drama or scandal to increase their popularity in order to promote the next movie, single, or album that would be launched. What Ariel could do is to write a song (or an album) as soon as possible and launch it! And thee

Pluralism: My Version

plu`ral-ism (-noun) condition in which minority groups participate in society, yet maintain their distinctions. Today is Chinese New Year. Being Indonesian-Born-Chinese (IBC), my family has always been taking part in this celebration. No, we were not really doing the rituals, but as a child, I always had fun hunting Hung Bao (small amount of money put in an red envelop). Another memory about Chinese New Year is it was the time when my favorite cousines came from Malang. We would play; and they would possibly have sleepover. It was my childhood. However, I cannot recall what happened when I was slightly older. But I still remember that my mom told me to be an Indonesian. She would say "Nia, you are not Chinese. You are Indonesian." Or she would remind me that I have to respect Indonesian people in spite of their attitude toward ethnic Chinese. She said "We have a confusing story. If we would say we are Chinese, we would be kicked out from this country. Thus we would prob