Perlu diakui kita ini sering tidak mudah puas. Baik dalam mencapai prestasi ataupun memiliki barang idaman.
Tidak cepat puas sebenarnya adalah hal yang baik. Jika kita mudah puas, maka kita dengan mudahnya berhenti berusaha dan dengan gampangnya berhenti.
Pada saat kuliah, ada 1 dosen yang sangat tough. Amanda Coady namanya. Dapat nilai 7 untuk mata kuliah dia, itu sudah syukur alhamdulilah. Tapi saya ngga rela cuma dapat 7 (thanks to my Asian blood!). Saya mencoba untuk dapat nilai 8 bahkan kalau bisa 9. Well, akhirnya mentok cuma dapat 8.5 di mata kuliah marketing communications.
Rasa tidak cepat puas ini saya bawa sampai sekarang. Apalagi my ex boss adalah seorang perfectionist. Kalau saya melakukan kesalahan dalam pekerjaan, bisa saya pikirkan siang malam.
Tapi tanpa sadar, rasa tidak cepat puas ini saya bawa dalam aspek kehidupan saya yang lain. Yaitu dalam penampilan dan barang-barang yang saya miliki.
Sudah punya 1 baju merek tertentu, eh ngerasa kenapa kok ngga 2? Window shopping di Instagram dan melihat ada 'new release! Limited stock', langsung stand by dan jadi pertama yang beli koleksi terbaru.
Alhasil gaji berapapun ngga akan sanggup mencukupi "kebutuhan". Gaji 5 juta, beli 1 baju bermerek dan 1 sepatu, akhir bulan cuma bisa makan indomie. Gaji 10 juta, harusnya ngga perlu ada acara makan indomie di akhir bulan. Eh, tapi jadi kepengen beli 2 baju, 2 sepatu dan gadget baru, dengan alasan sekarang lebih mampu. Tapi akhir bulan makan indomie lagi.
Jadi harus gimana? Lebih baik mudah atau tidak mudah berpuas diri?
Berambisi boleh. Selalu belajar dan berusaha untuk jadi lebih baik malah lebih boleh. Tapi di saat yang sama, kita harus bisa mencukupkan diri dengan apa yang kita punya. Jangan sampai menginginkan apa yang tidak kita punya itu membuat kita jadi bersikap negatif.
Comments