Sudah kesekian kali Oma berlari.
Oma lelah.
Oma ingin istirahat dari pelarian ini.
Entah sudah berapa kali Oma berlari dari masalah; berlari dari orang-orang yang Oma sayangi; berlari dari kenyataan, most of all, Oma berlari dari rasa sakit.
Rasa sakit itu sakit (of course). Tidak ada yang ingin kesakitan. Semua orang sehat pasti memilih untuk tetap sehat ketimbang harus sakit flu, sakit perut, sakit kepala, atau sakit pinggang, misalnya. Orang sehat pasti lebih senang kalau tidak harus ke dokter, minum obat, disuntik, atau dirawat di rumah sakit, at least Oma berpikir begitu.
Jika Oma merasa sakit, rasanya Oma langsung ingin meminum obat tidur, supaya bisa tidur terus sampai rasa sakit itu hilang. Atau, Oma ingin pergi ke dokter, meminta obat antibiotika paling ampuuuh, supaya Oma langsung sembuh.
Ya, memang tidak ada orang sehat yang ingin sakit.
Tapi, bagaimana kalau rasa sakit itu inevitable? Kalau rasa sakit itu akan tetap ada di sana, meminta untuk diobati. Dia tetap merong-rong meminta untuk segera disembuhkan.
Oma tidak ingin sakit.
Oma benci sakit!
Jadi, Oma biasanya berlari. Berlari meninggalkan rasa sakit. Menganggap rasa sakit itu tidak pernah ada. Melupakan rasa sakit. Biarpun rasa sakit itu tetap memanggil-manggil. Tapi Oma terus berlari. Semakin keras rasa sakit menjerit, semakin kencang Oma berlari.
Kadang Oma tidak pernah kembali, atau, at least, belum berencana untuk kembali.
Dan kali ini, Oma kelelahan.
Sudah lebih dari empat kali Oma berlari.
Dan, Oma lelah.
Dan rasa sakit itu masih ada. Masih merong-rong. Masih menjerit minta diobati. Masih meminta belas kasih. Masih belum hilang.
Tapi Oma terlalu takut dengan rasa sakit.
Oma benci dengan air mata.
Seandainya Oma tidak lelah, Oma akan terus berlari.
Tapi nampaknya, Oma sudah tidak bisa lagi, tidak boleh lagi berlari. Oma harus berhenti.
Dan, Oma tidak punya cara untuk mengobati rasa sakit itu.
Ya, Oma masih sakit.
Sakiiit sekali!
Sakit.
Sa...kit....
Oma lelah.
Oma ingin istirahat dari pelarian ini.
Entah sudah berapa kali Oma berlari dari masalah; berlari dari orang-orang yang Oma sayangi; berlari dari kenyataan, most of all, Oma berlari dari rasa sakit.
Rasa sakit itu sakit (of course). Tidak ada yang ingin kesakitan. Semua orang sehat pasti memilih untuk tetap sehat ketimbang harus sakit flu, sakit perut, sakit kepala, atau sakit pinggang, misalnya. Orang sehat pasti lebih senang kalau tidak harus ke dokter, minum obat, disuntik, atau dirawat di rumah sakit, at least Oma berpikir begitu.
Jika Oma merasa sakit, rasanya Oma langsung ingin meminum obat tidur, supaya bisa tidur terus sampai rasa sakit itu hilang. Atau, Oma ingin pergi ke dokter, meminta obat antibiotika paling ampuuuh, supaya Oma langsung sembuh.
Ya, memang tidak ada orang sehat yang ingin sakit.
Tapi, bagaimana kalau rasa sakit itu inevitable? Kalau rasa sakit itu akan tetap ada di sana, meminta untuk diobati. Dia tetap merong-rong meminta untuk segera disembuhkan.
Oma tidak ingin sakit.
Oma benci sakit!
Jadi, Oma biasanya berlari. Berlari meninggalkan rasa sakit. Menganggap rasa sakit itu tidak pernah ada. Melupakan rasa sakit. Biarpun rasa sakit itu tetap memanggil-manggil. Tapi Oma terus berlari. Semakin keras rasa sakit menjerit, semakin kencang Oma berlari.
Kadang Oma tidak pernah kembali, atau, at least, belum berencana untuk kembali.
Dan kali ini, Oma kelelahan.
Sudah lebih dari empat kali Oma berlari.
Dan, Oma lelah.
Dan rasa sakit itu masih ada. Masih merong-rong. Masih menjerit minta diobati. Masih meminta belas kasih. Masih belum hilang.
Tapi Oma terlalu takut dengan rasa sakit.
Oma benci dengan air mata.
Seandainya Oma tidak lelah, Oma akan terus berlari.
Tapi nampaknya, Oma sudah tidak bisa lagi, tidak boleh lagi berlari. Oma harus berhenti.
Dan, Oma tidak punya cara untuk mengobati rasa sakit itu.
Ya, Oma masih sakit.
Sakiiit sekali!
Sakit.
Sa...kit....
Comments