Kantor Imigrasi Surabaya Vs.KBRI Den Haag
Passport Oma akan segera overdatum, alias expired. Meaning, Oma harus segera memperbaharui, kalo ngga I will be in a big trouble (you don't know what you'll get these days).
So, akhirnya, kira-kira 1-2 minggu lalu, Oma requested ke bokap untuk ngurusin passport. Kebetulan ada tante gereja yang emang kerjanya 'makelar' passport. Jadi, dia yang ngurusin tetek bengeknya, dan kita tinggal datang, tanda tangan, foto, tanda tangan, dan JADI!
Buat yang tahu idealisme Oma, pasti akan mencibir dan bilang "kalo berbuat dosa jangan setengah-setengah." Tapi, urusan calo-mencalo di Indonesia bukanlah hal yang dianggal 'dosa' lagi, karena inilah jalan pintas yang dicari semua orang. Yet, buat Oma, agak-agak ga rela pake jasa calo.
Tapi,….. baca dulu sharing Oma berikut ini.
Begitu mendarat di gedung imigrasi, yang Oma lihat adalah mobil-mobil dan sepeda motor yang berjubel-jubel parkir. Namun, yang aneh, pintu depan sepi pengunjung. Ada sih tulisan 'Tamu Harap Lapor', tapi tidak ada satu orang pun. Untungnya Oma melihat beberapa orang menuju ke bagian belakang gedung.
Dan ternyata BENAR, lokasi foto, loket, tanda tangan dll berada di belakang gedung, dan sudah penuuuh sesak. padahal itu masih jam 9. Edan!
Sama tante gereja, Oma disuruh datang jam 9 teng! Eh,.. tapi ternyata karena kesalahan teknis, Oma baru dikasih nomor 72 (padahal pas jam 9 itu masih nomor 20). Sebel lagi deh tambahan! Jadi nunggu lamaaa (untung ada buku The Alchemist yang menemaniku).
Selama menunggu kira-kira 1 jam, Oma melihat pemandangan yang cukup bisa membuka mata tentang bagaimana pelayanan imigrasi di Indonesia. Orang-orang yang tidak memakai calo, harus rela berdesak-desakan di loket, menunggu sampai harus ngelempoh di lantai (duduk di lantai), dan berkeringat.
Lucu sekali, sebenarnya. Ada berbagai macam kalangan di ruangan imigrasi yang sempit itu. Ada kalangan tante-tante, cece-cece yang pakai tas LV atau Gucci, Oom-oom yang memakai kemeja burberry atau sepatu Bailey. Namun ada juga mbok-mbok madura yang hanya pake sewek untuk mengurus pasport, ada mas-mas yang bau keringat, sampai ada anak-anak kecil kumal.
Setelah melalui proses ini itu, mulai wawancara singkat (dan harus berbohong berstatus Mahasiswa karena kalau berstatus karyawan prosesnya lebih rumit), foto dan tanda tangan, akhirnya Oma menarik sebuah kesimpulan.
Calo bukan lagi suatu ‘dosa’ yang diharamkan, walaupun memang seharusnya kita harus pakai jalan normal. Tapi, bayangkan apa bila kita harus pakai jalan normal? Apa Oma ya harus ngelempoh di lantai? Trus nunggu berhari-hari, minta tanda tangan bapak ini dan bapak itu sendiri? Trus ngasih salam tempel dimana-mana? Sama juga bo’ong!
So, kalo tidak mau ada praktek makelar passport di Indonesia, ya pemerintah seharusnya mempermudah proses birokrasi pengurusan tetek-bengek yang berhubungan dengan pemerintahan: memperpanjang KTP, ngurus passport, surat nikah, akte kelahiran de el el.
Nah, sekarang bandingkan dengan pengalaman Oma di Belanda.
Waktu itu, Oma sedang dalam proses pengurusan Exchange Study ke Exeter, United Kingdom. Then, I realized kalo passport nya hampir expired! Ya uda, akhirnya langsung deh ke KBRI. Dengan pemikiran yang sangaaaat polos: Belanda must be better than Indonesia dalam hal-hal sepert ini.
No calo, no salam tempel, no anything!
Dari informasi di website yang Oma dapet prosesnya adalah sbb: datang, bawa dokumen2 lengkap, foto dan bayar. Ah, I was too naïve back then.
Oma datang, nanya-nanya di bagian informasi dan mulai ngisi formulir ini itu. Akhirnya Oma disuruh ke ruangan pengurusan passport (so-called), yang notabene adalah ruangan bersama. Ada beberapa orang yang juga sedang mengurus passport.
Setelah mengisi formulir, Oma tunggu sampai dipanggil untuk wawancara singkat, minta tanda tangan dan foto. Karena melihat keadaan pagi itu yang cukup lengang di kantor KBRI Den Haag, Oma positif bakalan cepet.
Ternyata, luamaaaaa!
Entah kenapa. Tapi, akhirnya, Oma mulai suspected kenapa Oma tidak dilayani. Karena Oma orang Indonesia bermata sipit. Kenapa berpikir seperti itu? Karena ada dua mbak-mbak yang datang waaaaay after Oma, tapi mereka yang dilayani duluan. Daaaan, ketika akhirnya Oma dilayani, Oma dilayani dengan sangat tidak ramah! *apa karena tidak ada salam tempel dariku?*
Oke,… Oma berusaha sabar. Tarik nafas dalam-dalam,…. Sigh! Tapi,… ada satu hal lagi yang bikin kemarahan Oma naik sampai ke ubun-ubun.
Petugas KBRI Yang Menyebalkan (PKYM): Biayanya 55 euro
Nia yang lagi be-te (NYLB): Hah???! Lho, bukannya di website 38 Euro, Pak?
PKYM: Oh, itu tidak update! Sekarang biayanya 55 Euro
NYLB: Lho, saya ini cuman bawa uang 40 euro, Pak (sambil berpikir, salah siapa coba tidak nge-update website!!) Gimana donk? Harus bayar sekarang ya, pak?
PKYM: (sambil berpikir, dasar student kere!) Iya dan sebelum jam 1.
NYLB: (noleh ke jam dinding) Yah, ini udah jam 11! Beneran nih ga boleh bayarnya pas ngambil passport.
PKYM: (menggeleng dengan angkuh dan berdiri, siap-siap untuk kabur) Nggak!!
NYLB: (udah mo nangis) Ya uda lah pak, saya cari geldautomaat (baca: ATM) dulu.
Dan, Oma benar-benar berjalan mengelilingi Den Haag (dengan sedikit menitikkan air mata karena sebal!!!!), bertanya pada hampir setiap pejalan kaki, sampai 1 jam lebih! Untunglah, Tuhan itu baik. Oma akhirnya menemukan mesin ATM Postbank dan ABN Amro. Dan 20 menit kurang dari jam 1, Oma tiba lagi di KBRI.
Rasanya, uang 55 Euro itu mau Oma lempaaar ke muka tuh petugas KBRI yang gendut, jelek, bauk,....!!!!!
Fewh,..
*tarik nafas, lepaskan, tarik nafas, lepaskan*
Nah, bisa menarik kesimpulan sendiri kan, teman-teman?
Passport Oma akan segera overdatum, alias expired. Meaning, Oma harus segera memperbaharui, kalo ngga I will be in a big trouble (you don't know what you'll get these days).
So, akhirnya, kira-kira 1-2 minggu lalu, Oma requested ke bokap untuk ngurusin passport. Kebetulan ada tante gereja yang emang kerjanya 'makelar' passport. Jadi, dia yang ngurusin tetek bengeknya, dan kita tinggal datang, tanda tangan, foto, tanda tangan, dan JADI!
Buat yang tahu idealisme Oma, pasti akan mencibir dan bilang "kalo berbuat dosa jangan setengah-setengah." Tapi, urusan calo-mencalo di Indonesia bukanlah hal yang dianggal 'dosa' lagi, karena inilah jalan pintas yang dicari semua orang. Yet, buat Oma, agak-agak ga rela pake jasa calo.
Tapi,….. baca dulu sharing Oma berikut ini.
Begitu mendarat di gedung imigrasi, yang Oma lihat adalah mobil-mobil dan sepeda motor yang berjubel-jubel parkir. Namun, yang aneh, pintu depan sepi pengunjung. Ada sih tulisan 'Tamu Harap Lapor', tapi tidak ada satu orang pun. Untungnya Oma melihat beberapa orang menuju ke bagian belakang gedung.
Dan ternyata BENAR, lokasi foto, loket, tanda tangan dll berada di belakang gedung, dan sudah penuuuh sesak. padahal itu masih jam 9. Edan!
Sama tante gereja, Oma disuruh datang jam 9 teng! Eh,.. tapi ternyata karena kesalahan teknis, Oma baru dikasih nomor 72 (padahal pas jam 9 itu masih nomor 20). Sebel lagi deh tambahan! Jadi nunggu lamaaa (untung ada buku The Alchemist yang menemaniku).
Selama menunggu kira-kira 1 jam, Oma melihat pemandangan yang cukup bisa membuka mata tentang bagaimana pelayanan imigrasi di Indonesia. Orang-orang yang tidak memakai calo, harus rela berdesak-desakan di loket, menunggu sampai harus ngelempoh di lantai (duduk di lantai), dan berkeringat.
Lucu sekali, sebenarnya. Ada berbagai macam kalangan di ruangan imigrasi yang sempit itu. Ada kalangan tante-tante, cece-cece yang pakai tas LV atau Gucci, Oom-oom yang memakai kemeja burberry atau sepatu Bailey. Namun ada juga mbok-mbok madura yang hanya pake sewek untuk mengurus pasport, ada mas-mas yang bau keringat, sampai ada anak-anak kecil kumal.
Setelah melalui proses ini itu, mulai wawancara singkat (dan harus berbohong berstatus Mahasiswa karena kalau berstatus karyawan prosesnya lebih rumit), foto dan tanda tangan, akhirnya Oma menarik sebuah kesimpulan.
Calo bukan lagi suatu ‘dosa’ yang diharamkan, walaupun memang seharusnya kita harus pakai jalan normal. Tapi, bayangkan apa bila kita harus pakai jalan normal? Apa Oma ya harus ngelempoh di lantai? Trus nunggu berhari-hari, minta tanda tangan bapak ini dan bapak itu sendiri? Trus ngasih salam tempel dimana-mana? Sama juga bo’ong!
So, kalo tidak mau ada praktek makelar passport di Indonesia, ya pemerintah seharusnya mempermudah proses birokrasi pengurusan tetek-bengek yang berhubungan dengan pemerintahan: memperpanjang KTP, ngurus passport, surat nikah, akte kelahiran de el el.
Nah, sekarang bandingkan dengan pengalaman Oma di Belanda.
Waktu itu, Oma sedang dalam proses pengurusan Exchange Study ke Exeter, United Kingdom. Then, I realized kalo passport nya hampir expired! Ya uda, akhirnya langsung deh ke KBRI. Dengan pemikiran yang sangaaaat polos: Belanda must be better than Indonesia dalam hal-hal sepert ini.
No calo, no salam tempel, no anything!
Dari informasi di website yang Oma dapet prosesnya adalah sbb: datang, bawa dokumen2 lengkap, foto dan bayar. Ah, I was too naïve back then.
Oma datang, nanya-nanya di bagian informasi dan mulai ngisi formulir ini itu. Akhirnya Oma disuruh ke ruangan pengurusan passport (so-called), yang notabene adalah ruangan bersama. Ada beberapa orang yang juga sedang mengurus passport.
Setelah mengisi formulir, Oma tunggu sampai dipanggil untuk wawancara singkat, minta tanda tangan dan foto. Karena melihat keadaan pagi itu yang cukup lengang di kantor KBRI Den Haag, Oma positif bakalan cepet.
Ternyata, luamaaaaa!
Entah kenapa. Tapi, akhirnya, Oma mulai suspected kenapa Oma tidak dilayani. Karena Oma orang Indonesia bermata sipit. Kenapa berpikir seperti itu? Karena ada dua mbak-mbak yang datang waaaaay after Oma, tapi mereka yang dilayani duluan. Daaaan, ketika akhirnya Oma dilayani, Oma dilayani dengan sangat tidak ramah! *apa karena tidak ada salam tempel dariku?*
Oke,… Oma berusaha sabar. Tarik nafas dalam-dalam,…. Sigh! Tapi,… ada satu hal lagi yang bikin kemarahan Oma naik sampai ke ubun-ubun.
Petugas KBRI Yang Menyebalkan (PKYM): Biayanya 55 euro
Nia yang lagi be-te (NYLB): Hah???! Lho, bukannya di website 38 Euro, Pak?
PKYM: Oh, itu tidak update! Sekarang biayanya 55 Euro
NYLB: Lho, saya ini cuman bawa uang 40 euro, Pak (sambil berpikir, salah siapa coba tidak nge-update website!!) Gimana donk? Harus bayar sekarang ya, pak?
PKYM: (sambil berpikir, dasar student kere!) Iya dan sebelum jam 1.
NYLB: (noleh ke jam dinding) Yah, ini udah jam 11! Beneran nih ga boleh bayarnya pas ngambil passport.
PKYM: (menggeleng dengan angkuh dan berdiri, siap-siap untuk kabur) Nggak!!
NYLB: (udah mo nangis) Ya uda lah pak, saya cari geldautomaat (baca: ATM) dulu.
Dan, Oma benar-benar berjalan mengelilingi Den Haag (dengan sedikit menitikkan air mata karena sebal!!!!), bertanya pada hampir setiap pejalan kaki, sampai 1 jam lebih! Untunglah, Tuhan itu baik. Oma akhirnya menemukan mesin ATM Postbank dan ABN Amro. Dan 20 menit kurang dari jam 1, Oma tiba lagi di KBRI.
Rasanya, uang 55 Euro itu mau Oma lempaaar ke muka tuh petugas KBRI yang gendut, jelek, bauk,....!!!!!
Fewh,..
*tarik nafas, lepaskan, tarik nafas, lepaskan*
Nah, bisa menarik kesimpulan sendiri kan, teman-teman?
Weleh, ngurus passport aja ribetnya minta ampun!
Buat apa ada campaign 'Visit Indonesia' kalau hal-hal kecil kayak gini yang akhirnya bikin penghalang buat turis datang dan mengunjungi Indonesia.
Comments
oma ngomel :p
tapi embyer, tu petugas kedutaan minta dikentuti semua >.<
apa ganti warga negara aja ya? :p