Skip to main content

Beda Gemeente* dan Dispenduk Surabaya

(*Balai Kota)

Tadi pagi Oma harus ke Dispenduk Surabaya, yang lokasinya di belakang Samsat (Raya Manyar). Sebelumnya, Oma mengunjungi Bapak Polisi dulu di Polsek Tambak Sari, untuk meminta surat keterangan hilangnya Akte Kelahiran.

Ya, akte kelahiran Oma hilang (atau malah Oma tidak pernah punya Akte kelahiran? heheh). Jangan ditanya deh kenapa hilangnya. Bisa satu posting sendiri tuh!

Yang Oma mo cerita kali ini adalah keadaan, hiruk-pikuk Dispenduk Surabaya, di kala Oma mengurus permintaan kutipan kedua akte kelahiran.

Suasana di salah satu Dinas Kependudukan


Begitu memasuki Dispenduk, Oma langsung mencium aroma tembakau. Oma pun langsung melihat kabut tebal menyelimuti ruang-ruang Dispenduk; bukan karena kabut dingin, tetapi kabut itu berasal dari asap-asap rokok bapak-bapak PNS.

Loket F. Oma harus menuju ke loket F untuk meminta kutipan kedua akte kelahiran. Seorang bapak, yang lagi duduk-duduk, dengan tidak sigap membantu. Memang bapak itu tersenyum, tetapi bukan senyuman ramah. Senyum GENIT!

Begitu mengajukan keinginan untuk mendapatkan akte baru, Oma langsung disuguhi sebuah form untuk diisi. Sangat simple! Hanya isi nama, alamat dll. Ketika form itu Oma kembalikan ke loket F, ternyata si bapak genit itu tidak ada di tempat!

Oma harus menunggu 15-20 menit-an, sampai bapak itu kembali. Setelah kembali, bapak itu melampirkan selembar kertas hijau dan menjepret jadi satu dengan formulir dan berkas-berkas yang lain. “Ke loket B ya, Mbak! Trus kalau sudah, ke sini lagi.” Begitu katanya, sambil tetaaap tersenyum genit!

Akhirnya Oma ke loket B dan, of course, mengantri lagi! Tapi di loket B ini lumayan banyak pegawai yang siap membantu. Untungnya yang melayani Oma cewek, jadi tidak ada genit-genitan lagi. Ternyata di loket B ini, permintaan Oma ditulis di buku registrasi. Dibaca sekali lagi, DITULIS DI BUKU REGISTRASI (jadi no computer-computer-an at all!)

Begitu selesai diregistrasi, Oma kembali ke loket F. DAN SI BAPAK MENGHILANG LAGI!! Ada kira-kira 10 menit Oma harus menunggu, ditemani mas-mas dan bapak-bapak yang tak henti-hentinya mengepulkan asap rokok. Akhirnya Bapak Genit kembali dan Oma buru-buru menghampiri loket F dan memberikan berkas-berkas yang sudah diregsitrasi.

Setelah menunggu beberapa saat (5-10 menit-an), Oma dipanggil lagi sama Bapak genit. “Aduh, mbak ini cantiknya.” (komentar yang tidak penting!) “Mbak sekarang ke kasir, bayar dulu dan ntar balik sini lagi.”

Asem,…! Ribet amat sih! Pikir Oma.

Oma pun pergi ke loket kasir dan membayar biaya administrasi sebesar 75 Ribu. Pikir Oma, oke lah! Untung uda ga ada pungutan-pungutan liar lagi. Setelah membayar (petugas kasir ada di tempat, sehingga proses cepat), Oma kembali ke loket F dan, again,.. BAPAK GENIT TIDAK ADA!!!

Nunggu lagi,… dan untungnya cepet. Begitu bapak itu ada, langsung Oma kasih kuitansi bukti pembayaran dan berkas-berkasnya. Dan tak lama, Oma dipanggil lagi ama Bapak Genit.

Mbak, aduh,.. seneng saya ngeliat mbak. Cantik banget,” kata Bapak Genit sambil senyum-senyum. “Ini, mbak, udah kelar dan bisa diambil dalam waktu 10 hari. Biaya retribusi 50 ribu.” Kucrut! Ternyata harus ngasih salam tempet juga. “Ni Pak! Ga pake lama, lho Pak! Kan uda ngasih 50 ribu!” Dan Oma pun pergi.

Ya wes, akhirnya selesai sudah petualangan Oma ke Dispenduk. Dasar Bapak Genit nan Matre!

---

Begitu Oma nyampek di mobil, duduk, langsung Oma berpikir, “gila, beda banget ya ama Gemeente Belanda.” Di sana semuanya serba computerized.


Lambang Gemeente Amsterdam

Oma inget banget waktu ngurus ganti alamat, di gemeente Amsterdam. Begitu Oma masuk, langsung disambut dengan sebuah mesin yang menanyakan tujuan kita. Begitu memencet tombol “adres wijzigen (merubah alamat)” langsung muncul kertas bertuliskan nomor antrian.

Oma langsung menuju ruang tunggu dan menunggu di sana. BEBAS asap rokok dan ditemani buku-buku menarik. Ada bagian khusus untuk anak-anak, yang dilengkapi dengan TV yang memutar video Disney, buku-buku anak-anak, dan mini playground.

Oma tidak usa menunggu-nunggu di depan loket, karena Oma hanya perlu melihat ke monitor, untuk memantau kapan giliran Oma. Begitu dipanggil menuju ke loket, Oma tinggal menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan. Menunggu sembari terus berdiri di depan loket dan tidak sampai 10 menit,.. voila! Selesaaaii!!

Semua proses dilakukan dengan komputer, jadi data-data Oma di seluruh Belanda sudah berubah dengan sendirinya. Tanpa perlu salam temple, tanpa perlu mengantri berjam-jam tiada guna, tanpa perlu bolos kantor, karena semuanya serba cepat!

Hebat.

Kapan ya Indonesia bisa se-efektif dan se-efisien itu?

Comments

Anonymous said…
ya tapi kan di belanda g dikomentari nie..

"Mbaknya cakep deh.."

AKAKAKAKAKKAKAKAKAKA

*ngakak*

Ive told you once, no? You *ARE* beeyotipul XD, dan sekarang bapak2 di loket pun mendukung pendapat saya

Well, dr belanda,
its a summery spring now ;)
and i miss the day we went to filmmuseum in vondelpark :D
Anonymous said…
hhh..jadi inget memori pas mau legalisir akte kelahiran buat daftar kuliah dulu. u know what?? saya harus bayar 15o ribu untuk membuat ulang akte kelahiran yang menurut mereka 'cacat hukum' karena petugas catatan sipil yang membuatnya di zaman dahulu kala melakukan kesalahan ketik!! nah loh! emang saya yang salah?? sejak itu, diriku sangat benci pada smua hal yang berbau pemerintahan. kantor pemerintah, pegawai negeri, dsb..
INDONESIAAAA....
Oma Nia said…
Wah iyaaaaaaaaaaaaaa,... VONDEL PARK!!!! mauuuuuuuuuuuuuu
duh...tp kalo di indo, pasti semuanya langsung beres..cuma butuh pengorbanan duit ama di lempar kiri kanan..cuma benefit nya, ga perlu merasa deg2an..soalnya pasti lancarrrr...*asal ada duit*

kalo disini kan pake acara heart attack segala.. takut surat apa kurang... heheh lagian di Indo, bisa suru org laen urus..hehehe kita tinggal terima jadi xD (mental indo bgt yahhh)
Anonymous said…
I love U cantik,,,
tapi gak hyperbola kan?whehehe...
pepie said…
kalo disini sih, calo lebih sakti daripada komputer, Oma.... saya yg udah 30 tahun lebih di sbya aja ngurus surat pindah suami adaaa aja berkas yg salah, yg ketikannya, yg kurang, yg tanggalnya, karena ga pake calo. Coba pake calo, semua jadi benar, cepat, dan memang: mahal (terutama bagi yg tidak punya famili/tetangga/relatives di dispenduk).
Sebenernya agak ribet (banyak berkas) ga papa krn memang SDMnya blm IT minded, asal pemkot transparan mengenai semua ketentuan yg diperlukan (nama berkas, tanggal, jumlah foto, materai, rentang waktu/expired dari formulir, dan rentang waktu komitmen pemkot menyelesaikan layanan kita).

Popular posts from this blog

What would you do if you could live another life

What would you do if you could live another life just for one day? This line is quoted from "Last Chance Harvey" . I have watched this film twice and still feel so touched everytime I watch it. Kate Walker, the main character in this film, uttered this question to Harvey Shine. In this story, both of them lived a life that is not very happy-chappy. Kate lived in a pathetic, boring life; Harvey in a screwed one. When Kate asked this question, both of them seem to ponder: what if I could live a different life, just for one day, just to try out. This question makes me ponder, too: what would I do if I was given a chance to live any kind of life I want, just for one day? Where would I be? What would I do? Who would I be? Lately I have been thinking about the life I am living right now. Everything is so well-planned. I graduated from high school, went abroad to study, came back home to work, went abroad again to do my master, working in a reasonably good organisation, and going ho

WSAD? (What Should Ariel Do?)

As a communication expert, we always need to be prepared for crisis communication or disaster management. If a company suffered a bad publication, or when bad things happened, like with BP’s oil spill or Toyota’s cars, the communication people need to work very hard to communicate the right message (while some other people work on to make things right) and to win the public favour again. In theory, companies need to be prepared for crisis way in advance; however not many companies did that. I believe, Ariel had also never thought that such drama would happen, but yeah, here it is, and he has to face it! So, here is my humble opinion regarding what he needs to do to clear the air: Scenario 1: Launch a single/album Celebrities, especially musicians, usually would create a drama or scandal to increase their popularity in order to promote the next movie, single, or album that would be launched. What Ariel could do is to write a song (or an album) as soon as possible and launch it! And thee

Pluralism: My Version

plu`ral-ism (-noun) condition in which minority groups participate in society, yet maintain their distinctions. Today is Chinese New Year. Being Indonesian-Born-Chinese (IBC), my family has always been taking part in this celebration. No, we were not really doing the rituals, but as a child, I always had fun hunting Hung Bao (small amount of money put in an red envelop). Another memory about Chinese New Year is it was the time when my favorite cousines came from Malang. We would play; and they would possibly have sleepover. It was my childhood. However, I cannot recall what happened when I was slightly older. But I still remember that my mom told me to be an Indonesian. She would say "Nia, you are not Chinese. You are Indonesian." Or she would remind me that I have to respect Indonesian people in spite of their attitude toward ethnic Chinese. She said "We have a confusing story. If we would say we are Chinese, we would be kicked out from this country. Thus we would prob